Try

111 19 16
                                    

* * *

Hari Senin yang indah, bahkan lebih indah dari Senin-Senin lainnya. Hari dimana aku diharuskan tidak sekolah karena kakak kelasku yang sedang berperang melawan soal ujian.

Karena kasihan denganku yang akan merasa bosa jika hanya di ruamah, Kak Nathan mengajakku ke kampusnya. Aku sangat antusias, kakakku itu memang sangat pengertian.

Selama Kak Nathan menjalankan mata kuliahnya, aku berjalan mengelilingi kampus. Anggap saja kampus ini taman rekreasi. Lebih tepatnya aku seperti gadis kecil yang hilang di tempat rekreasi, karena kakaknya yang sibuk dengan diri sendiri.

Aku berjalan di sepanjang koridor, melewati berbagai fakultas. Banyak mahasiswa yang melihatku dengan tatapan heran. Mungkin mereka bingung melihat siswi SMA berkeliaran di kampus mereka. Atau mungkin mereka mengira aku merupakan mahasiswa pindahan dari Universitas lain.

Karena lelah, aku beristirahat di kantin kampus. Aku lapar. "Nanti yang bayar Kak Nathan ya, Bu."

"Nona Miracle, ya?" Ibu kantin tersenyum ramah.

Aku tersenyum. "Iya. Memang Kak Nathan pernah cerita tentang saya ke Ibu?"

"Iya. Bahkan ke beberapa teman kampusnya, Non." Aku mengangguk. Jika itu aku sudah tahu, ternyata Kak Nathan juga bercerita pada Ibu kantin.

Ibu kantin menaruh sepiring mie goreng dan segelas es teh manis. Aku tersenyum dan mengucapkan terima kasih. Saat suapan ketujuh, ponselku tiba-tiba berdering menunjukkan Edward meneleponku.

"Hallo?" Aku mendekatkan ponsel ke telinga.

"Mir, lo dimana?" tanya Edward di seberang sana.

"Kampus Kak Nathan, kenapa emang?"

"Gak pa-pa, sih. Tadinya gue mau ngajak lo main ke rumah Michelle."

"Ogah. Nanti gue jadi obat nyamuk!"

Edward tertawa. "Ya ajak Alvaro lah."

"Bryan gimana? Bisa gak dia ngerjain soal UN?"

"Wah, ngalihin pembicaraan, nih." Edward terkekeh. "Lo harus tahu, si Abang Bryan kemarin sungkeman sama orang rumah. Sama Ayah, Bunda, dan gue. Kalau lo ada, dia pasti sungkem sama lo, Mir."

Aku tertawa. "Semacam ritual agar orang yang dia sungkemin itu mau doain dia?"

"Iya gitu lah pokoknya. Dia juga ngasih Hp-nya ke gue. Tapi Cuma selama UN doang, sih. Katanya gue bebas mainin gamenya dia."

"Wah, UN jadi baik tuh orang." Aku terkekeh.

"Udah dulu ya, Mir. Pujaan hati udah nyuruh gue buru-buru ke rumahnya."

"Iye." Aku memutuskan sambungan telepon.

Setelah menghabiskan dua piring mie goreng dan tiga gelas es teh manis, aku akhirnya kekenyangan. Oh, sepertinya aku akan sulit berjalan karena perutku terasa ingin pecah. Aku menunggu Kak Nathan hingga mata kuliah usai.

Akhirnya Kak Nathan menghampiriku. Kak Nathan menatapku tak percaya. "Ini serius kamu yang pesan?"

Aku mengangguk. "Udah dibayar?" Kugelengkan kepalaku. Kak Nathan menepuk dahinya, membayar pesanan pada Ibu kantin.

Sepanjang jalan menuju tempat parkir Kak Nathan menggerutu. Pasal uangnya yang hilang tiga puluh ribu setelah dia menghampiri adiknya. Aku lebih memilih diam.

"Kamu mau badan kamu kayak Tamara?" ketusnya. Dia melajukan mobil.

Aku menyalakan radio. "Kita mau kemana, Kak?"

Story About Miracle [ON GOING]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang