Bab 2

98.4K 8.6K 236
                                    

Radhika menatap jam yang melingkar sempurna di tangannya. Ia lalu melambaikan tangan guna memberhentikan satu taksi. Kepulangannya kali ini terkesan mendadak. Pasalnya, kemarin sore ia baru mendapatkan telepon bahwa Papanya di rawat di rumah sakit.

Ia merasa sedikit bersyukur karena saat ini ia masih dalam masa liburan, sehingga pulang mendadak bukan menjadi masalah. Usai masuk ke dalam taksi, ia langsung menyebutkan alamat rumah sakit tempat Papanya di rawat. Masalah koper ia sudah menelpon pak Asep, supir pribadi keluarganya untuk mengambil kopernya nanti.

Mungkin sudah sekitar satu tahun ia tak pulang, karena kesibukan antara kuliah magister dan pekerjaannya di Inggris. Kedua orangtuanya justru yang lebih sering mengunjunginya kesana, sekalian jalan-jalan katanya. Jakarta masih tak berubah, masih memiliki daya tarik tersendiri bagi Radhika meskipun semakin hari antrean kendaraan di jalan semakin meningkat.

Ia mengamati jalanan yang kebetulan hari itu sedang lengang. Ada beberapa baliho yang terpasang dan mengiklankan berbagai merk mulai dari deterjen hingga minyak urut. Tanpa sengaja, matanya menangkap sesuatu yang menarik. Salah satu billboard yang terpampang di pinggir jalan, menampilkan sebuah poster film.

Radhika tak tertarik pada filmnya, ia lebih tertarik pada wajah seorang wanita yang berada di baris terdepan. Wanita yang meskipun sudah 7 tahun tak pernah ia temui, namun tetap menjadi alasan utama mengapa jantungnya berdetak lebih keras dari biasanya.

Tak bisa ia pungkiri, meski bertahun-tahun tak pernah lagi berinteraksi Aretha masih sangat mempengaruhi dirinya.

Apalagi sejak pertemuan tanpa sengaja yang terjadi di Venice dua minggu yang lalu. Entah kenapa semenjak hari itu, bayang-bayang Aretha seolah hadir di setiap harinya. Semua kata dan kalimat yang pernah Aretha katakan terdengar jelas di telinganya.

"Pak bisa berhenti sebentar? Satu menit saja," supir taksi itu langsung mengangguk dan meminggirkan mobilnya.

Radhika mengeluarkan handphone dari dalam saku jaketnya, lalu mengarahkan aplikasi kamera pada billboard yang terpasang. Bukan hanya satu kali, namun lima foto dengan isi yang sama berhasil ia tangkap. Sengaja ia menggunakan fitur zoom dan mengabaikan berbagai aktor lain yang tidak ia tahu siapa namanya. Tujuannya hanya satu, mengambil sebanyak mungkin foto Aretha meski dari kejauhan.

"Masnya fans mbak Aretha ya?" tanya supir taksi sambil kembali melajukan mobil.

"Kalo saya bilang saya ini mantan pacarnya, bapak percaya gak?"

Bapak itu nampak melihat penampilan Radhika dari balik spion kemudian mengangguk kecil,"kalo dari penampilan sih mungkin bisa mas. Cuma kabar yang saya dengar, mbak Aretha tidak pernah mengkonfirmasi kalau dia berkencan dengan seseorang. Jadi nggak mungkin, hehe."

Radhika hanya tersenyum membalas jawaban supir itu. Ia bingung harus senang atau bersedih mendengar jawaban jujur itu. Di satu sisi, ia ingin marah karena dianggap laki-laki yang halu. Namun disisi lain ia justru senang, karena itu berarti setelah putus darinya Aretha tak pernah menjalin hubungan lagi dengan lelaki lain. Artinya, kemungkinan Aretha gagal move on cukup besar dan peluang untuk kembali meminta kesempatan kedua pada Aretha juga cukup besar.

Sesampainya di rumah sakit, Radhika langsung menuju ke ruangan tempat dimana Papanya di rawat. Papanya yang tengah duduk bersandar pada ranjang ruang perawatan nampak terkejut akan kedatangannya.

"Assalamualaikum Pa," Radhika berjalan mendekat dan langsung menghambur ke pelukan sang Papa.

"Radhi? Kok gak bilang-bilang kalau mau pulang?"

"Kalau bang Randi gak telepon kemarin, pasti Radhi juga gak bakal tau dan gak pulang hari ini. Gimana keadaan Papa?" ucap Radhika sambil mengurai pelukannya. Ia menarik salah satu kursi dan duduk di sana.

After Met You (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now