Bab 15

58.2K 5.3K 76
                                    

Bantu koreksi ya, apabila ada typo dan kawan-kawannya 👌🏻
Jangan lupa vote dan komen 😚
Terimakasih ❤️

🌹🌹🌹

"Gue enggak nyangka lo sebucin ini." ujar Randi, lalu mengambil posisi duduk di sofa.

Radhika mengerutkan kening menatap kakaknya,"Katanya mau lunch sama Papa? Kenapa malah disini, pergi sana."

"Lo ngusir gue?"

"Gue ngingetin tujuan utama lo,"

Randi berdecak kesal, namun tetap tak beranjak dari tempatnya. Ia malah mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan, sementara Radhika sudah beralih ke meja kerjanya. Membuka beberapa dokumen yang memang harus ia periksa, lalu membaca beberapa laporan dari staf di divisi yang ia pegang. Beruntungnya, staf yang ia bawahi memiliki etos kerja yang baik dan cukup cekatan.

Bunyi ponsel berdering, namun bukan dari ponsel Radhika melainkan ponsel milik kakaknya. Benda persegi yang diletakkan di meja itu terus berdering, sesekali berhenti lalu kemudian berdering lagi. Sementara pemiliknya, justru memejamkan mata seolah tak peduli. Radhika mendengus kesal, bunyi itu mengganggu konsentrasinya dalam bekerja. Mau tidak mau, sopan tidak sopan, Radhika memilih melempar gumpalan kertas ke arah Randi.

"Apaan sih kambing?!"

"HP lo bunyi onta! Berisik tau! Kalo gak mau ngangkat, di silent aja. Jangan dibiarin berisik,"

"Iya iya. Bawel lo jadi adek."

Randi meraih ponselnya kemudian memasang mode silent, dan meletakkannya dengan posisi layar dibawah. Sehingga notifikasi apapun tak akan terlihat minimal dari jangkauan matanya sendiri. Dan selama itu, Radhika memerhatikan kakaknya yang terlihat lelah. Kalau boleh jujur, ia ingin sekali menanyakan hal itu secara langsung disini. Tapi, rasanya tempat ini kurang tepat. Mengambil inisiatif, Radhika berdiri menghampiri kakaknya.

"Ke coffe shop depan yuk bang. Gue ngantuk, belum ngopi."

Randi mendengar ajakan itu, langsung membuka matanya lalu meraih ponsel dan berjalan keluar lebih dulu. Meninggalkan Radhika di belakang yang menatapnya heran.

🌻🌻🌻

"Kenapa?" tanya Radhika to the point sambil menunggu pesanan mereka datang.

"Lo tahu kan Dhik, umur gue berapa?"

"28 kan. Kenapa emangnya?"

"Emang umur segitu harus cepat-cepat nikah?" Melihat gelagat Randi yang gelisah, membuat Radhika paham kemana arah pembicaraan kakaknya tersebut.

"Mama jodoh-jodohin lo lagi?"

Randi menganggukkan kepala pasrah. Ia tak tahu, apa yang salah dengan usia 28 tahun dan belum menikah? Padahal dia laki-laki, dan menurutnya tak ada batas maksimal untuk usia pernikahan. Bagi Randi, menikah bukan perkara "halal dalam segala hal" tapi jauh lebih kompleks dari itu.

Meskipun ia berasal dari keluarga berada, ia sadar bahwa roda tak selalu di atas. Ia ingin menikah ketika semuanya sudah ia rasa siap. Asuransi, tabungan masa depan, biaya sekolah anak, dana pensiun dan semua hal yang menurutnya penting. Mungkin terkesan lebay, tapi ia hanya ingin kehidupan anak dan istrinya di masa depan benar-benar terjamin.

Sudah sejak tahun lalu, Mamanya merongrong meminta dirinya segera menikah. Ya, perempuan di sekelilingnya memang banyak tanpa ia melemparkan diri pun wanita-wanita diluar sana pasti bersedia melemparkan dirinya lebih dulu. Tapi, ya itu. Ia belum merasa siap sama sekali. Dan alasan lainnya adalah, belum adanya sosok wanita yang mampu mengisi sesuatu yang kosong dalam dirinya yang Randi rasa terlalu sulit dijelaskan itu.

After Met You (SUDAH TERBIT)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora