tiga puluh lima

40.3K 4.6K 5.1K
                                    

"I also hear your breath cause we are this close."

— NCT 127, Love Song

timestamp dulu coba pada mulai baca chapter ini jam berapa?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

timestamp dulu coba pada mulai baca chapter ini jam berapa?

.

.

.

» scriptsweet «

.

.

.

Hari masih terlalu pagi buat gue menemukan sosok kak Doyoung seliweran di dapur sendirian. Itu bukan hal yang familiar buat gue—kecuali di saat gue sakit dan nggak bisa bangun dari tempat tidur. Biasanya, gue yang menyambangi dapur lebih dulu dan sibuk mengolah bahan makanan yang ada di kulkas. Tapi pagi ini, laki-laki itu menjamah wilayah kekuasaan gue lebih dulu, bahkan sebelum gue keluar dari kamar.

Gara-gara kejadian semalam, kak Doyoung jadi nggak banyak ngomong. Kelar subuhan, dia langsung keluar kamar begitu aja. Sebenarnya gue nggak tahu apa yang salah di antara gue dan kak Doyoung sampai dia memilih buat banyak-banyak diam. Akhirnya, rumah malah jadi terasa dingin. Padahal seingat gue, nggak ada perdebatan spesifik di antara gue dan kak Doyoung setelah terakhir kali dia bilang kalau gue ini keras kepala.

I'm stubborn and I admit that.

"Mas," panggil gue dari ambang pintu kamar.

Berjalan menghampiri kak Doyoung, gue bisa melihat dengan jelas kalau laki-laki itu sedang fokus mengiris tipis daun bawang di atas talenan. Gerakan tangannya boleh dibilang lihai buat ukuran orang yang nggak jago masak kayak kak Doyoung. Wajar. Sesekali aja dia masak, terutama waktu periode menstruasi gue datang atau kalau kebetulan gue belum sempat masak sebelum keluar apartemen.

"Hm." Dia merespons singkat setibanya gue di dapur.

Kompor di depan kak Doyoung menyala. Di atasnya, gue melihat sebuah teflon dengan tutup kaca tebal yang penuh dengan uap air. Tanpa perlu melongok sampai jauh, gue udah bisa tahu apa yang ada di dalam teflon itu. Jelas dong, bubur adalah satu-satunya masakan yang bisa dengan santai dibuatnya tanpa harus kelihatan bingung berlebihan.

Dengan langkah yang perlahan berubah menjadi derap lembut, gue berdiri di belakang kak Doyoung, lalu memeluknya tanpa izin. Lagi, gue bisa mencium aroma khasnya sementara gue membenamkan wajah gue di punggungnya. Seraya mengeratkan pelukan pada badannya, gue menghela napas pelan.

"Maaf kalau semalam aku bertingkah berlebihan," kata gue. "Bukannya aku marah atau kesal sama Mas, tapi aku cuma nggak mau Mas kebanyakan beban pikiran gara-gara aku."

[2] Scriptsweet ✔Where stories live. Discover now