28. The Truth

3.6K 370 104
                                    

Warning : 2000 ++ words. Drama.

***

Ada banyak alasan kenapa aku bersikeras tidak ingin menemui Chanyeol. Meski aku selalu mengatakan bahwa alasannya karena aku tidak ingin merasakan sakit lagi, tetap saja aku memiliki alasan lain yang tidak bisa aku katakan pada mereka.

Bahwa aku tidak ingin kembali karena terlalu payah. Takut pada akhirnya aku tidak bisa menjauh begitu bertemu dengannya.

Dan benar saja, aku merasakan hal itu lagi sekarang.

Aku menatap punggung lebar Kim Chanyeol. Pria itu tengah berbaring. Bibi Kim bilang, Chanyeol baru saja dibawa pulang secara paksa karena ulahnya di kelab malam. Bibi sudah kehabisan cara karena beberapa malam terakhir, Chanyeol terus-terusan memukul orang.

Tentu saja dia terluka, namun mengetahui kemampuan berkelahi pria ini, aku yakin korbannya pasti terluka jauh lebih parah.

Tanganku bergerak untuk mengusap rambutnya ragu-ragu. Chanyeol berkeringat sekali. Ia belum melepas bajunya yang masih kentara berbau alkohol. Sepatunya bahkan masih terpasang di sana.

"Kupikir aku membencimu karena menyakitiku, tapi ternyata aku jauh lebih benci melihatmu menyakiti dirimu sendiri."

Aku berbisik, dan sepertinya dia tidak mendengarku. Chanyeol mungkin sudah tertidur. Tanganku terus bergerak mengusap keringat yang bercucuran di dahinya, berniat menyalakan pendingin ruangan sebelum tanganku tertahan di udara.

"Kau terbangun karena aku, ya?" tanyaku pada pria yang tengah menahan tanganku. Chanyeol tidak menjawab, yang ia lakukan hanya menatapku tanpa ekspresi. Sepertinya ia tengah memastikan bahwa aku benar-benar Seungwan.

"Aku akan menyalakan pendingin rua--" Kim Chanyeol menggeleng. Tanpa mengucapkan sepatah kata, tangannya menarikku untuk mendekat. Membuatku terduduk di tepi ranjang. Pria itu kemudian menempatkan kepalanya di atas pahaku, menyembunyikan wajahnya di perutku dengan kedua tangannya yang memeluk bak tidak mau melepaskan.

Berkali-kali aku menangis karena Chanyeol. Entah karena ulah pria itu padaku, atau hatiku yang tiba-tiba takut kehilangannya hingga membuatku menangis sembunyi-sembunyi.

Kendati demikian, aku tidak pernah berharap Chanyeol melakukan hal yang sama. Sekali pria itu pernah menangis di pelukanku, rasanya sakit sekali. Aku bahkan bersedia menemaninya hingga larut malam, ikut menangis bersamanya karena kehabisan cara untuk membuatnya berhenti.

Lalu saat ini, pria itu kembali melakukannya. Kim Chanyeol menangis, tersedu-sedu, seperti ia baru saja kehilangan hal paling berharga yang ia miliki.

Aku tidak juga bergerak melakukan apa saja untuk menghentikannya. Tubuhku terlalu kaku, pun otakku yang tidak bisa berpikir. Mati-matian aku berusaha menahan air mataku agar tidak ikut turun.

Kim Chanyeol masih bersikeras menyembunyikan wajahnya. Semakin lama tangisnya kian deras, Chanyeol sesenggukan, dan aku semakin tidak tahu harus berbuat apa.

"Kau tidak bersalah, Kim Chanyeol," kataku mencoba menenangkannya. Itu adalah satu-satunya kalimat yang bisa keluar dari mulutku. Aku bukan hanya sedang meyakinkannya, tapi aku juga menyakinkan diriku sendiri.

Sebesar apapun kesalahan yang pria itu perbuat, aku tetap mendoktrin diriku bahwa bukan dia yang pantas untuk kusalahkan.

"Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Aku salah, aku minta maaf," katanya terputus-putus. Begitu kesulitan untuk mengatakan hal itu.

Kepalaku menggeleng secara refleks meski dia tidak melihatnya, "kau tidak perlu menjelaskan apa pun padaku. Tuan Kim sudah bercerita. Jangan begini, aku tidak kembali hanya untuk melihatmu menangis."

Bite The Bullet ✔Where stories live. Discover now