DDGM: 04

2.1K 383 79
                                    

Sebelum mulai, pastikan sudah Vote jika perlu Comment sebagai wujud apresiasi kalian untuk cerita kali ini.

Milan mengigit bibir bawahnya gemas karena melihat Hakkun dan Ahin yang sedang memakan egg cheese yang dia buat

Ops! Esta imagem não segue nossas diretrizes de conteúdo. Para continuar a publicação, tente removê-la ou carregar outra.

Milan mengigit bibir bawahnya gemas karena melihat Hakkun dan Ahin yang sedang memakan egg cheese yang dia buat. Hakkun sangat lahap, berbeda dengan Ahin yang santai dan malah terlihat anggun.

Milan tidak tahu latar belakang mereka, apakah kembar atau hanya adik kakak. Kalau di lihat siapa yang kakak dan siapa yang adik, Ahin lah yang sangat menonjol perannya sebagai kakak.

"Ahin ini susu coklatnya ya." Milan meletakan gelas sedang berisi cairan coklat agak kental di sebelah piring Ahin.

Anak perempuan ini mendesis, melihat ke arah Milan tidak suka. "Sejak kapan aku ingin susu?" tanya Ahin yang langsung pergi dari meja makan ke ruang tengah sambil membawa piringnya.

"Ounty, Hahin ndak suha shushu hokelat," cetus Hakkun dengan mulut yang penuh dengan makanan. Bibir mungilnya menyemburkan sedikit telur-telur ya sudah halus di kunyah.

Milan hanya bisa tertawa garing sambil mengelap sekitar bibir Hakkun dan membersihkan semburan tadi. Lalu terlitas di pikirannya untuk membuat smoothie apel untuk Ahin, semoga saja anak perempuan itu suka dengan smoothie yang dia buat.

Sewaktu Milan sedang mengeluarkan mini blender dari dalam bupet, tiba-tiba saja Hakkun sudah berdiri di sebelahnya dengan wajah polos yang menggemaskan. Saat perempuan yang mempunyai lesung pipi ini ingin mengelap pipi Hakkun, tiba-tiba...
















Aaoorrrkk...

Milan langsung tertawa terbahak-bahak mendengar sendawa yang di keluarkan dari dalam mulut Hakkun. Bocah 5 tahun ini melongok tidak paham apa yang di tertawakan oleh Milan, tetapi dia ikut tertawa meski tidak tahu untuk apa.

"Berisik! Aku sedang menonton kartun!" teriak Ahin dari ruang tengah.

Hakkun dan Milan langsung saling bertatapan, lalu menaruh jari telunjuk ke bibir masing-masing sambil berdesis.

━━━━━️°✨•°🦋°•✨°️━━━━━

Huang Milan

"Daddy!" teriak Hakkun langsung lari ke pintu utama di susul dengan Ahin dan aku yang di belakang mereka.

Taeil melepas topi pilotnya saat Hakkun menghambur dalam pelukannya, sangat manis. Bergantian dengan Ahin yang hanya mencium lembut kedua pipi ayahnya.

"Daddy, Aunty bercerita banyak tentang pesawat dan langit," kata Hakkun sambil melompat-lompat sangking antusiasnya.

"Oh iya kah? Lalu sudah bilang terima kasih?" tanya Taeil yang di angguki Hakkun. "Lalu bagaimana dengan Ahin?" tanyanya lagi beralih pada puteri kecilnya.

"Ah, Ahin anak yang baik kok," jawabku secara tiba-tiba. Taeil melihat ke arahku kaget, kemudian tersenyum.

"Sep-"

"Tidak," potong Ahin saat Taeil ingin membalas jawabanku.


Aku, Taeil maupun Hakkun terkejut mendengar perkataan Ahin. Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi selain memasang senyuman kaku.

Taeil berdeham, lalu berdiri tegak dengan wajah yang berubah menjadi sendu. "Maafkan Ahin, Milan."

Aku mengangguk. "Tidak apa-apa," balasku tidak enak.

"Bisa kamu ikut aku? Ini tentang kontrak kerjamu," kata Taeil yang berjalan melewatiku. "Untuk Ahin dan Hakkun, jangan berisik. Oke?"

"Oke daddy!" balas mereka berdua.

Di dalam ruangan yang tidak terlalu besar ini terdapat banyak sekali rak-rak buku tentang dunia penerbangan, juga banyak sekali piagam-piagam dan pengehargaan lainnya.

"Aku mendapatkan itu semua selama 7 tahun lebih," ujar Taeil yang seolah-olah dia tahu apa yang ingin aku tanyakan padanya.

Dia berdeham sambil melepas jas dan juga dasinya. "Biar aku sampirkan," tawarku halus yang di tolak Taeil. "Aku bisa melakukannya, terima kasih Milan."

Tidak sengaja aku melihat foto besar dengan figur wanita di tengah-tengah ruangan, foto tersebut di tutupi kain transparan berwarna putih. Dapat kulihat, wanita dalam foto tersebut sangat cantik.

"Bagaimana seharian ini? Apa masih mau melanjutkan pekerjaan ini?" tanya Taeil tiba-tiba, membuyarkan pandanganku pada foto besar itu. Dia duduk dan menatapku lekat-lekat.

"Iya, aku senang terlebih anak-anakmu sangat nurut," jawabku fakta. Ya meskipun ku akui Ahin memang agak merepotkan, tapi dia tetap menjadi anak yang baik.

"Aku tahu kamu pasti kesulitan menghadapi Ahin," balasnya yang sangat tepat.

Kemudian Taeil mengeluarkan lembaran kertas, ada 7 lembar dan sepertinya kertas tersebut sebuah kertas perjanjian kerja.

"Ahin dan Hakkun, mereka adik kakak bukan kembar. Ahin lebih tua 1 tahun 7 bulan dari Hakkun," Taeil menyuruhku untuk menandatangani di kertas kertas-kertas tersebut. Jarinya menuntunku untuk mencoret-coret pada dua kolom di antara 7 lembar kertas. "Ahin memang sifatnya pendiam, angkuh dan sombong. Yah menjengkelkan, tapi jika dia sudah menyayangimu, dia tidak akan rela berbagi pada siapapun," tambahnya sambil membolak-balik lembaran kertas, mengeceknya secara detail.

"Aku akan membayarmu 10 juta per bulan," ujar Taeil yang membuatku melongok.

"Apa?" tanyaku memastikan kalau aku tidak salah mendengar.

"10 juta per bulan, atau masih kurang?"

"Bagaimana bisa?"

"Kamu pikir hanya mengurus 1 anak? Kamu mengurus 2 anak sekaligus. Anggap saja Ahin dan Hakkun masing-masing 5 juta," jelasnya. "Apa masih kurang? Sebelum ku tanda tangani ini, kamu bisa merubah sesuatu dalam surat perjanjian," tambahnya.

Demi Tuhan, ini sudah lebih dari cukup. Aku dapat makan selama 3 bulan dengan bayaran tersebut.

Aku menggeleng kencang. "Tidak ada, silakan tanda tangani saja,"

Mama, aku akan kaya dengan cepat hanya dengan mengurus dua orang anak.

[The End] Daddy, Give Me Mom ✖ Moon TaeilOnde histórias criam vida. Descubra agora