DGMM: 23

1.8K 281 11
                                    

Sebelum mulai, pastikan sudah Vote jika perlu Comment sebagai wujud apresiasi kalian untuk cerita kali ini.

Sebelum mulai, pastikan sudah Vote jika perlu Comment sebagai wujud apresiasi kalian untuk cerita kali ini

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Huang Milan

"Huang Milan, Huang Milan mana mungkin dia suka padamu," gumamku sambil memukul kepalaku sendiri lalu menenggelamkan wajah pada bantal.

Tiba-tiba mama masuk kedalam kamar sambil berkacak pinggang, beliau melempar handuk kecil ke wajahku. "Kalau tidak bermain dengan anak-anak duda itu, kerjaanmu terus tiduran di kamar. Kenapa tidak mencari pekerjaan saja? Huh, menyusahkan."

Aku membulatkan mata sambil memperhatikan mama yang menjauh dari kamarku. Perkataan mama benar juga, aku lebih banyak malas-malasan ketimbang beraktivitas.

Tapi daripada memikirkan pekerjaan, diriku lebih memikirkan perasaanku yang terlalu terfokus pada Taeil.

"Milan!" teriak mama dari lantai bawah membuyarkan lamunanku.

Aku balas dengan berteriak juga, "ada apa?!"

"Hakkun dan Ahin berkunjung, ingin bermain denganmu!"

Aku bergegas turun ke bawah menjemput Hakkun dan Ahin supaya bermain di kamarku saja. Akan lebih aman dan nyaman aku menjaga mereka.

Hakkun langsung berlari membanting tubuhnya ke atas ranjangku. Ia sangat bersemangat apalagi ketika melihat miniatur kota kecil berlapis kaca terbuat dari lego. "Aunty mari bermain berkemah," kata Ahin yang baru saja melihat acara berkemah di televisi kamarku.

"Hakkun ingin bermain polisi perampok. Ahin dan aunty akan menjadi perampok," ujar Hakkun sambil membuat pistol palsu dari jari tangannya.

"Bagaimana kalau kita makan camilan dulu, sebentar ya."

Aku mengobrak-abrik isi lemari kecil di dekat meja televisi, mengambil kue-kue kering yang sengaja aku beli untuk berjaga-jaga kalau lapar di malam hari.

"Ahin tolong ambilkan piring itu," pintaku di angguki Ahin.

Aku meletakan camilan di meja, "ayok kita makan."

Hakkun langsung mengambil makanan sekaligus dua jenis di tangan kanan dan kirinya. "Enak!" seru Hakkun tidak berhenti makan.

Memikirkan perasaanku sepertinya lebih baik aku bertanya pada Ahin. Mungkin dia tahu sedikit tentang Taeil karena aku rasa Taeil selalu bercerita pada puteri kecilnya ini. "Ahin, aunty boleh bertanya?"

Ahin mengangguk. "Tanyakan saja," jawab Ahin dengan mulut yang di penuhi kue.

Aku mengambil napas dalam-dalam dan dengan ragu bertanya pada Ahin. "Bagaimana dengan daddy kamu?"

"Bagaimana dengan dad— Um..."

Ahin memberhentikan perkataannya. Anak ini menatapku dalam tanpa ekspresi, kemudian ekspresinya mendadak berubah seolah-olah sedang meledekku. "Aunty menyukai daddy, ya. Jujur saja pada Ahin," ledek Ahin.

Entah mengapa aku mengangguk seperti terkena hipnotis. "Aunty tenang saja, daddy juga mencintai Aunty," ujarnya santai sambil kembali memakan kue-kue kering.

"Apa Ahin berbohong?"

"Mana mungkin berbohong. Lihat saja nanti," balasnya sombong.

━━━━━️°✨•°🦋°•✨°️━━━━━

Suara deruman mobil terdengar sampai membangunkanku. Aku terkejut mendapati Hakkun dan Ahin yang tidur memelukku di kasur.

"Ah ternyata ketiduran."

Kulihat jam dinding menunjukan pukul dua dini hari. Aku kira jam tersebut rusak ternyata tidak saat ku lihat langit gelap dari jendela kamar. Dan aku pastikan suara deruman tadi berasal dari mobil Taeil.

Aku segera membangunkan keduanya dan mengantar mereka pulang.

"Daddy sudah pulang?" tanya Ahin lemas baru bangun tidur. Aku hanya tersenyum kemudian menuntun keduanya untuk pulang ke rumah.

Sampainya di gerbang, ternyata sudah ada Taeil yang hendak menekan bel rumah. Pria ini langsung membungkukan tubuh sembilan puluh derajat dan kembali tegak. "Maaf merepotkanmu," kata Taeil sambil menggendong Hakkun.

"Tidak, mereka berdua tidak merepotkan sama sekali."

Aunty tenang saja, daddy juga mencintai Aunty...

Perkataan Ahin tadi sore terus berputar-putar di pikiranku.

"Kamu tidak apa-apa?" tanya Taeil khawatir lalu menaruh punggung tangannya di dahiku.

Lantas aku sedikit mundur, menjauh darinya. "Aku tidak apa-apa, tenang saja."

Taeil malah tersenyum hangat padaku. Kemudian membenarkan posisi kepala Ahin yang tertidur sambil berdiri memeluk kaki Taeil. "Lebih baik kamu kembali tidur," saran Taeil.

Kubungkukan tubuh berpamitan untuk malam ini. Saat ingin kembali memasuki rumah, Taeil malah memanggil namaku. "Huang Milan," panggil Taeil tidak biasanya menyebut nama lengkapku.

Aku berbalik menatapnya yang sedang merogoh saku celana. Kemudian ia memberiku kotak kecil berwarna merah muda yang lembut.

"Untukmu," katanya sambil tersenyum.

Aku terima pemberiannya dan membuka kotak ini. Satu kalung yang cantik dengan liontin permata berbentuk kristal berwarna indigo meyala. Aku nyaris mengeluarkan air mata, betapa manisnya pemberian Taeil.

"Aku tidak sabar melihatmu memakai kalung itu," katanya sambil memeluk Ahin dengan sebelah tangan.

"Kamu tahu Milan, aku tidak dapat terus memendam rasa ini. Semakin aku menyembunyikan perasaanku, bayanganmu semakin memabukanku."

Aku diam di tempat, terpaku sambil menunggu perkataan selanjutnya. Namun Taeil tidak kunjung mengatakan apapun.

"Ya nanti saja, Hakkun sangat berat. Besok aku libur, jika ada waktu bagaimana kalau makan malam berdua?" tawar Taeil, aku langsung meng-iya-kan tawarannya.

Dia langsung pergi masuk ke pekarangan rumahnya. Sebelum gerbang rumahnya tertutup, aku bungkukan tubuh sekali lagi. "Terima kasih, Taeil," ia membalas dengan senyuman.

 "Terima kasih, Taeil," ia membalas dengan senyuman

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
[The End] Daddy, Give Me Mom ✖ Moon TaeilWhere stories live. Discover now