🍓 O.4

425 84 15
                                    

"Hueningkai! Bangun, kau harus sekolah!" suara mamanya terdengar dari luar kamar.

Kai meregangkan tubuhnya seraya mengucek-ucek matanya, "Eungh... Iya ma!"

Ia beranjak dari kasurnya dan segera bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Setelah selesai bersiap-siap, Kai segera keluar dari kamarnya dan pergi ke ruang makan.

"Pagi ma..." sapa Kai.

Mamanya yang masih sibuk dengan masakannya, menolehkan kepalanya dan tersenyum.

"Pagi..."

Kai duduk di salah satu kursi ruang makan dan menunggu masakan mamanya selesai.

Ia dan mamanya hanya tinggal berdua di rumah ini. Papa Kai sudah lama bercerai dengan mamanya.

Kenyataannya, sekalipun mereka termasuk murid yang 'tertipu' internet, mereka masih memiliki masalah tersendiri yang membuat mereka tetap bertahan di sekolah itu.

"Kai," panggil mamanya.

"Ya?"

Mamanya berbalik sambil membawa sepanci sup dan meletakkannya di meja makan.

"Mama tahu, mama sudah sering menanyakan hal ini. Tapi... Apa kau yakin tidak ingin pindah sekolah?" tanya mamanya.

Kai mengulum bibirnya. Hampir setiap hari pertanyaan ini keluar dari mulut mamanya. Itu karena beberapa bulan yang lalu, mama Kai baru tahu kalau anaknya pernah dipukuli oleh anak berandalan di sana. Untung saja Kai masih bisa menghindar.

Tapi jawaban Kai pada pertanyaan itu tidak pernah berubah.

"Tidak ma. Mama tidak perlu khawatir. Aku sudah ahli menghindar dari anak-anak seperti itu," jawab Kai sambil tersenyum lebar.

Perkataannya itu memang kenyataan. Sebenarnya kasus ia dipukuli oleh anak berandalan itu hanya salah satu dari sekian banyak kejadian buruk yang nyaris menimpanya.

Dia bahkan pernah nyaris jadi korban murid psycopath di sana!

"Hueningkai..."

Kai sedikit merinding ketika mamanya memanggilnya dengan 'Hueningkai', yang artinya mamanya benar-benar serius dengan pembicaraan mereka ini.

"Katakan, apa alasanmu tidak ingin pindah sekolah,"

Kai menatap sepiring nasi di depannya sambil memikirkan jawaban yang meyakinkan mamanya itu.

"Hueningkai..."

"A-aku... Sudah memiliki teman yang baik di sana ma. Aku tidak ingin meninggalkan mereka," jawab Kai pelan.

Mamanya menghela napasnya pasrah, "Tapi bagaimana kalau temanmu itu juga bagian dari anak berandalan lain?"

"Tidak ma! Mereka sekelas denganku. Artinya mereka juga korban penipuan internet!" seru Kai tidak terima.

"Kai... Kau tidak pernah tahu sifat asli seseorang. Di dunia ini tidak ada hitam dan putih, yang ada hanya abu-abu,"

Kai terdiam mendengar perkataan mamanya itu sambil sesekali menyuapkan nasi ke mulutnya.

"Sewaktu-waktu... Abu-abu itu bisa berubah menjadi abu-abu gelap. Tapi bisa juga abu-abu itu berubah menjadi abu-abu terang. Kita tidak pernah tahu kapan abu-abu itu akan berubah,"

Trak!

Mama Kai sedikit tersentak ketika anaknya meletakkan sendok dengan cukup kasar.

Kai berdiri dari kursinya dan mengambil tasnya, "Aku berangkat ma,"

Mama Kai hanya bisa menghela napas pasrah melihat anaknya yang pergi begitu saja.

Kemudian ia menatap ke sudut dapur sambil menahan air matanya yang sudah mengumpul di pelupuk matanya.

"T-tolong... Lindungi anakku,"

Dan setelah itu, sebuah goresan cukup besar muncul di pipinya.

Kai berjalan memasuki kawasan sekolah dengan wajah datar dan dingin. Setidaknya ia harus mempertahankan wajah itu sampai di koridor kelasnya.

Ia berjalan semakin cepat ketika mendengar bisik-bisik dari anak lain di sekitarnya.

Ayolah, siapa yang tidak panik jika kau dikelilingi para berandalan, psychopath, sociopath, dan sejenisnya?

"Kai!" panggil seseorang pelan.

Kai menolehkan kepalanya dan melihat Beomgyu yang mengenakan hoodie hitam. Di tangannya terdapat sebuah pisau yang ia bawa dengan santainya.

"Beomgyu! Untuk apa pisau itu?" pekik Kai pelan.

Beomgyu memutar pisau di tangannya yang membuat Kai sedikit menjauh dari lelaki itu, "Penyamaran, tentu saja. Dengan seperti ini kau bisa melewati mereka lebih mudah kau tahu?"

Kai mendengus pelan, sebelum akhirnya mengikuti Beomgyu yang masih melakukan 'akting' kecil dengan pisau itu.

Setelah sampai di ujung koridor, keduanya segera melesat naik melalui tangga gelap yang ada di sana.

Mereka harus melakukannya dengan cepat supaya tidak ada yang curiga. Karena satu-satunya tempat teraman di sekolah itu, dapat ditemukan setelah menaiki tangga gelap ujung koridor.

"Hhh... Akhirnya sampai juga," kata Beomgyu sambil mengelap keringat di dahinya.

Kai mengangguk setuju sambil menetralkan napasnya, "Simpan pisaumu, itu membuatku takut," kata Kai.

Beomgyu mengangguk dan memasukkan pisau itu ke dalam tasnya.

"Beomgyu, kau kurang tidur?" tanya Kai tiba-tiba.

Beomgyu mendongakkan kepalanya, "Eh?"

"Itu kantung matamu hitam sekali. Apa yang kau lakukan kemarin malam huh? Jujur!"

"E-eh... Itu..."

"Kau tidak 'menonton' sesuatu yang aneh kan?" tanya Kai curiga.

Beomgyu langsung memukul lengan Kai, "Pikiranmu kotor sekali!"

"Pagi!"

Beomgyu dan Kai secara serempak menoleh ke sumber suara.

"Soobin, Yeonjun. Pagi juga," sapa Kai sementara Beomgyu tersenyum lebar.

Kemudian mata Beomgyu beralih ke jari tangan Soobin, dimana banyak sekali plester dan luka goresan yang beberapa belum diberi plester.

"Ada apa dengan tanganmu?" tanya Beomgyu sambil menunjuk jari tangan Soobin.

Soobin mengangkat tangannya, "Ah ini..." kemudian ia meringis malu.

"Dia ingin membuatkan sarapan untukku tapi malah melukai dirinya sendiri,"

Beomgyu dan Kai langsung menatap Yeonjun dengan tatapan tak percaya. Pasalnya, itu kalimat terpanjang yang pernah lelaki itu ucapkan.

"Apa?" tanya Yeonjun risih.

"Kupikir itu kalimat terpanjang yang pernah keluar dari mulutmu," kata Kai.

Yeonjun mendecak sambil merotasikan kedua bola matanya, sebelum akhirnya mendahului untuk masuk ke kelas.







































[TBC]

I'm Left Alone | TXTWhere stories live. Discover now