1. Satu ... Dua ... Lari!

10.1K 1.4K 161
                                    

Batavia, 1928.

Dengan perasaan terheran-heran, aku ikut berlari mengikuti laki-laki itu karena tanganku masih ditarik olehnya. Kami bersembunyi dibalik sebuah gedung tua berwarna putih. Menurut perkiraanku, tempat ini adalah sebuah gereja.

"Kenapa kita ke sini?" tanyaku pada laki-laki itu.

Ia menempelkan jari telunjuknya di mulutku, menyuruhku untuk diam. Aku pun mengangguk dan memilih untuk menuruti perintahnya.

Tak lama kemudian, sebuah suara menggema. Laki-laki di sebelahku itu berdecak, raut wajahnya terlihat kesal. Tiada hentinya ia mengucapkan kata-kata umpatan. Hingga akhirnya, suara yang menggema tadi tidak lagi terdengar olehku.

"Itu tadi suara apa?" tanyaku kepadanya.

"Itu tanda kalau Belanda akan mengadakan patroli yang dilakukan tiap bulan."

"Patroli? Belanda? Apa maksudnya?" Aku memandanginya kebingungan.

"Iya, Belanda selalu mengadakan patroli tiap bulan untuk menekan perlawanan dari kami. Mereka sengaja melakukan patroli untuk menunjukkan kekuasaanya di Batavia ini," terang laki-laki itu.

"Oh ya, omong-omong, namamu siapa?" lanjut laki-laki itu.

"Namaku Lana Dian Puspita, panggil saja Lana. Usiaku 17 tahun," jawabku sembari mengulurkan tanganku.

Ia menerima uluran tanganku dengan menggunakan tangan kanannya. "Aku Arif Surata. Umurku 22 tahun. Kamu berasal dari mana? Sepertinya kamu bukan penduduk asli sini, ya?"

Aku menelan ludahku, tak tau harus menjawab pertanyaannya bagaimana. "Aku ... aku gak tau harus menjawab apa."

Laki-laki bernama Arif itu menatap bingung ke arahku. Alisnya bertautan. "Kamu bukan centeng, kan?!"

"Hah? Centeng itu apa?" balasku yang tak tahu-menahu tentang centeng.

"Centeng itu mata-mata Belanda. Masa kamu gak tau?" jawabnya.

Aku menggeleng. "Aku gak tau, dan aku baru tau setelah kamu menjelaskannya. Oh iya, ini beneran tahun 1928?" tanyaku memastikannya lagi.

"Iya, tahun 1928. Kamu baru saja jatuh dari langit, ya? Kok kamu bisa-bisanya tidak tau ini tahun berapa? Dan kamu pun tidak tau sekarang kamu ada di mana?"

Aku kembali menggeleng atas ucapannya. "Aku beneran gak tau. Tapi, tadi kamu bilang ini di Batavia tahun 1928? Berarti aku masih di Jakarta, kan?"

Wajahnya jadi terlihat semakin kebingungan. "Kamu bicara apa sih? Aku gak paham dengan ucapanmu."

Lagi-lagi aku menggelengkan kepalaku, memilih untuk mengakhiri obrolan ini dengan mengalah. "Gak, lupakan aja."

Aku mengedarkan pandanganku, melihat-lihat situasi dan kondisi yang ada di sini. Bangunan di sini terlihat sangat mirip dengan bangunan pada masa kolonial. Oh tunggu--  apa aku baru saja terlempar ke masa lalu?

"Mas Arif, aku boleh tanya?"

Mas Arif menolehkan kepalanya ke arahku. Matanya memicing, mungkin karena aku baru saja memanggilnya dengan sebutan 'Mas'. "Tanya apa?"

"Aku lagi mimpi atau enggak, sih?"

Tangan Mas Arif bergerak menyentuh kepalaku, ia menempelkan tangannya di dahiku, kemudian mengangguk-angguk. "Suhunya normal, ku pikir kamu sedang sakit makanya jadi bersikap aneh."

"Hah? Maksudnya?" tanyaku yang tak paham dengan ucapannya.

"Gak, lupakan saja."

IHHH APA SIH???

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now