[extra+] Gadis dari Masa Depan (Mas Arif's POV)

4.4K 875 176
                                    

Batavia, 1928.

Hari itu aku tengah berdebat dengan seorang tentara KNIL mengenai kebijakan yang dikeluarkan oleh mereka dan pemerintah Hindia Belanda. Kebijakan sampah yang terus menyudutkan para bumiputera dan mengagungkan imperialisme demi kesejahteraan Belanda. Aku tak akan membiarkan penindasan ini berjalan selamanya, harus ada perlawanan dari kami para bumiputera.

"Stom beleid (Kebijakan sampah)!" ucapku kepada tentara tersebut.

"Als je wilt protesteren, protesteer dan bij de gouverneur-generaal (Kalau kamu mau memprotesnya, protes saja ke Gubernur Jenderal)," balas tentara itu sembari menatapku remeh.

Aku menunjuk wajah tentara tersebut sembari menyunggingkan senyum licik, kemudian meludah tepat di depannya. Persetan dengan jabatan yang dimilikinya, ia adalah penindas! Dengan perasaan kesal yang meluap-luap, aku berjalan menjauhi tentara tersebut. Seorang gadis dengan wajah kebingungan tengah sibuk melihat-lihat sekelilingnya. Aku mengernyitkan dahi, selama aku tinggal di Batavia, aku tak pernah bertemu dengan perempuan sepertinya.

Hati nuraniku menyuruhku untuk menghampiri gadis itu dan bertanya, "Apa kamu butuh bantuan?"

Gadis itu menggeleng, tetapi dengan cepat ia mengubah gelengannya menjadi anggukan. "Ya, aku butuh bantuan!"

Ia menggemaskan! Bagaimana bisa ia menggelengkan kepalanya, tetapi sedetik kemudian ia mengangguk dengan wajah polosnya? Aku tersenyum melihatnya. "Bantuan apa yang kamu butuhkan?"

"Aku hanya mau bertanya, sekarang aku ada di mana?" tanyanya yang membuatku menyipitkan mata. Aneh, ia tidak tahu tempatnya berdiri saat ini? Memangnya ia dari mana?

"Ini di Gemeente Batavia, memangnya kenapa? Apakah kamu salah satu dari rombongan yang dikirim oleh Belanda?" jawabku dengan nada menginterogasi.

Sembari menyilangkan tangannya, ia membantah ucapanku. Ia bilang kalau ia bukanlah salah satu dari rombongan yang dikirim Belanda. Raut wajahnya menunjukkan sebuah kebingungan, hal itu membuat sudut bibirku tertarik dan tersenyum samar. Sebuah tindakan konyol ia lakukan, ia menampar pipinya dan mencubit perutnya, kemudian meringis kesakitan. Aku yang melihatnya pun bertanya mengapa ia melakukan hal tersebut, tetapi bukannya menjawab pertanyaanku, ia justru balik bertanya kepadaku, "Ini tahun berapa?"

Saat kujawab bahwa ini adalah tahun 1928, ia terkejut bukan main. Ia menuduhku berbohong, padahal jelas-jelas ini adalah tahun 1928! Dengan wajah frustasinya ia bilang kalau sekarang adalah tahun 2020. Tak mau berdebat dengannya, aku pun memperlihatkan kalender yang ada di berkas milikku. Gadis itu awalnya tak percaya, ia bahkan membuka mulutnya lebar-lebar. Rasanya ingin kututup mulutnya karena takut ada serangga yang masuk ke dalamnya.

Suara sirine terdengar di seluruh penjuru daerah ini. Aku reflek menarik tangannya dan mengajaknya kabur menjauhi tempat tersebut. Meskipun ia kebingungan, ia tetap mengikuti langkahku menuju kawasan belakang gereja. Napasnya tak beraturan akibat berlari. Canggung, aku pun mengajaknya berkenalan. "Oh ya, omong-omong, namamu siapa?"

"Namaku Lana Dian Puspita, panggil saja Lana. Usiaku 17 tahun."

Lana, namanya terdengar menggemaskan seperti wajah dan tingkahnya.

Setelah berkenalan, aku mengajaknya untuk pergi ke rumah kecilku karena ia bilang bahwa dirinya tidak bisa mengingat asal-usulnya. Benar-benar aneh, bisa-bisanya ada orang yang lupa dengan alamat rumahnya sendiri, awalnya aku sempat mengira bahwa ia adalah centeng, tetapi sepertinya gadis ini bukanlah centeng. Beruntung ibuku tak keberatan jika Lana tinggal bersama kami.

Aku tahu kalau Lana sedang berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan barunya, ia benar-benar banyak bertanya kepadaku. Rasa ingin tahunya sangat tinggi. Aku beberapa kali mengajaknya bertemu dengan teman-teman seperjuanganku dan para pemuda-pemudi Jong Java, aku juga mengajaknya berkeliling Batavia.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now