5. Penyuka Sajak

5.2K 1K 112
                                    

Aku terbangun dari mimpi yang menegangkan dengan sebuah senyuman. Tadi malam, aku baru saja bermimpi kalau aku menjadi seorang intel! Aku mendapat tugas untuk menyelidiki tentang seorang bandar narkoba. Ah, aku merasa seperti menjadi seorang pahlawan dalam mimpi!

Dengan senyum yang merekah, aku turun dari kasur dan keluar dari kamar. Aku melihat Mas Arif yang tengah menyesap kopi miliknya di halaman rumah, sedangkan Bu Surnani tengah pergi ke pasar untuk membeli bahan masakan. Aku duduk di sebelah Mas Arif. Tidak ada di antara kami yang mau membuka obrolan, maka aku putuskan untuk berbasa-basi.

"Mas, kopinya rasa apa?" ucapku sambil menunjuk segelas kopi di tangannya.

"Kopi hitam, kenapa? Kamu mau? Ini pahit, lho."

"Gak, Mas. Aku gak mau," jawabku sembari menggelengkan kepalaku.

Mas Arif terkekeh, ia kemudian menaruh gelas yang dipegangnya tadi di sebelahnya. Badannya ia renggangkan, Mas Arif tersenyum manis sekali. "Kenapa gak mau? Kamu gak suka pahit, ya?"

"Iya, aku gak suka, Mas. Lebih suka teh daripada kopi."

Di tengah obrolan ku dengan Mas Arif, Ahmad berjalan melewati rumah Bu Surnani. Dengan peci hitam dan cengiran khasnya, ia menyapa aku dan Mas Arif. "Selamat pagi, Lan, Mas. Lagi ngapain nih, Mas? Ngopi-ngopi pagi, yak?"

"Pagi juga, Dot. Iya, lagi ngopi aja. Dodot mau ke mana?" balas Mas Arif yang ku ikuti dengan anggukan.

Dodot mengangkat kedua alisnya. "Biasa, bantuin Nyak, pamit dulu ye, Mas, Lan!" ucap Dodot sembari berjalan menjauhi kami.

Obrolan kami pun dilanjutkan, tapi beberapa saat kemudian Mas Arif izin untuk mandi karena siang nanti ia akan pergi menemui teman seperjuangan lainnya. Aku masih setia duduk di halaman rumah sembari menunggu Bu Surnani pulang dari pasar. Ku lihat orang-orang yang berlalu-lalang di sekitaran sini. Mereka terlihat sibuk dengan urusannya masing-masing, sedangkan aku hanya bersantai-santai saja di sini.

Aku jadi kepikiran, bagaimana caranya agar aku bisa kembali ke masa depan, ya? Aku mulai merindukan kedua orang tua dan teman-temanku di sana. Aku juga rindu dengan gonggongan dari anjing milik tetanggaku di sore hari. Terlalu larut dalam pikiran, aku sampai tidak sadar kalau Bu Surnani sudah kembali dari pasar.

"Nak Lana mikirin opo toh sampai gak sadar kalau Ibu sudah pulang?" Bu Surnani tertawa pelan. Kerutan di wajahnya jadi terlihat semakin jelas.

"Gak mikirin apa-apa kok, Bu. Hehehe," kilahku. Tak mungkin juga aku bilang kalau aku sedang memikirkan cara untuk kembali ke masa depan, kan?

Mas Arif masuk ke dalam obrolan kami dengan penampilannya yang lebih segar. Ia kemudian berpamitan pada kami dan pergi. Aku hanya menatap punggungnya yang menjauh. Bu Surnani bercerita pada ku tentang kejadian di pasar pagi tadi. Menurut penuturan beliau, tadi sempat ada bentrokan antara beberapa centeng Belanda dengan pedagang di pasar. Aku hanya menyimak cerita beliau. Setelah selesai mendengarkannya, aku pun izin untuk mandi.

Selesai mandi, aku membantu Bu Surnani memasak. Menu makan siang hari ini adalah tumis kangkung dan frikadeller atau yang mungkin biasa dikenal dengan perkedel. Aku membantu beliau menumis kangkung serta menumbuk kentang untuk perkedel. Harum masakan menusuk indra penciumanku. Cacing-caing di perutku sepertinya sudah memulai konser keroncongnya.

"Yeaay!" seruku ketika makanan sudah selesai disajikan. Sekarang, saatnya aku mensejahterakan perutku dengan hidangan lezat ini! Dengan penuh semangat, aku melahap tumis kangkung dan perkedel yang kami masak. Bu Surnani tersenyum melihat tingkahku. Beliau memintaku untuk makan pelan-pelan agar tidak tersedak, aku pun menuruti permintaan beliau.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now