12. Bir Pletok Engkong Badar

3.9K 923 104
                                    

Hari ini adalah tanggal 26 Oktober, dan besok adalah hari dilaksanakannya Kongres Kerapatan Pemuda II. Mas Arif sudah pergi untuk kumpul dengan para pemuda lainnya sejak pagi tadi. Sama seperti hari-hari sebelumnya, ia tak lagi memberikanku surat. Sejujurnya, aku masih berharap ia akan memberikanku surat seperti dulu, tapi kenyataannya Mas Arif tak lagi memberikannya.

Semua berubah dalam sekejap.

Aku gugup, tak sabar menunggu matahari terbenam dan menghitung detik-detik bergantinya hari. Aku tak dapat membayangkan hari esok, yang jelas aku yakin kalau besok akan menjadi hari yang luar biasa dalam hidupku. Tanpa sengaja aku menggigit bibir bawahku, menahan rasa gugup yang menyelimutiku. Ini benar-benar mendebarkan!

Untuk mengalihkan rasa gugup itu, aku mencoba keluar dari rumah dan menghampiri Ahmad di rumahnya. Aku tak tau apakah ia ada di rumah atau tidak, tetapi kata Ahmad, aku bisa mendatanginya kalau aku merasa bosan atau butuh bantuannya.

"Ahmad! Apa kamu ada di dalam?" teriakku dari halaman rumah Ahmad. Tak ada jawaban dari sang pemilik rumah, maka aku putuskan untuk kembali memanggilnya. "Ahmad? Ayo main bersamaku!"

Tanganku mengetuk pintu rumahnya sembari memanggil-manggil namanya. Namun, Ahmad tak menjawabnya. Mungkin ia sedang tak ada di rumah. Nyak Siti juga tak terlihat sejak pagi tadi. Ah, sepertinya mereka memang sedang pergi keluar. Dengan perasaan yang sedikit kecewa, aku kembali ke rumah. Bu Surnani menyambut kehadiranku dengan senyum seperti biasanya. Beliau menyuruhku duduk di sebelahnya.

"Nak Lana cari Dodot? Dia gak ada di rumah, sedang ziarah ke makam keluarganya," terang Bu Surnani kepadaku.

Ah, pantas saja .... Rupanya Ahmad sedang berziarah ke makam keluarganya. Aku jadi merasa bersalah karena tadi sempat kecewa. "Oh, begitu ya, Bu."

"Iya, Nak. Omong-omong, kamu besok ikut Arif pergi ke Kongres ya?"

Aku mengangguk pelan sebagai balasannya. "Ikut, Bu. Lana mau lihat acara Kongres besok."

Bu Surnani menatapku dengan tatapan berbinar, beliau mendekatkan dirinya denganku dan meraih tanganku untuk digenggam olehnya. "Nak ... jangan lupakan apa yang akan terjadi besok."

Seketika aku terdiam. Entah harus memberikan reaksi apa, aku tak tahu. Aku melirik ke arah beliau dan menelan ludahku. Bagaimana bisa beliau mengatakan hal demikian?

"Baik, Bu. Lana gak akan lupa," balasku dengan senyuman setelah kami terjebak dalam keheningan sesaat.

Dari halaman rumah, aku dapat mendengar suara Ahmad memanggil namaku. Ku pikir ia masih di makam? Dengan sigap aku langsung berdiri dan menghampirinya. "Hai, Ahmad! Sudah pulang?"

Ahmad menyengir. "Sudah, tadi kata si Awi, kamu ke rumahku ya? Ada apa?"

Ah, Awi ... tetangga kami yang masih berusia lima tahun itu ternyata sempat melihatku saat ke tempat Ahmad toh.

Aku mengangguk girang. "Iya! Aku ke rumahmu. Tadi aku mau mengajakmu main, tapi kamu sedang pergi ziarah katanya."

"Oh, yang ziarah cuma Nyak. Aku pergi ke pasar untuk membeli ikan. Kamu mau mengajak aku main apa, Lana?" balasnya sembari menggaruk leher belakangnya.

"Gak tau, terserah mau main apa. Aku ngikut kamu aja," jawabku asal.

Ahmad membenarkan peci hitamnya, wajahnya terlihat seperti tengah berpikir. "Ah, kita cari bir pletok mau?"

Bir pletok? Aku seperti pernah mendengarnya! Bukankah itu adalah minuman tradisional khas Betawi? Hmm, terdengar menarik! Kebetulan aku belum pernah mencobanya!

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Où les histoires vivent. Découvrez maintenant