18. Believe Me, Please

3.4K 863 112
                                    

"Mas Arif, terima kasih ya untuk hari ini," ucapku tersipu malu. Liontin indah yang menggantung di leherku benar-benar membuat pandanganku terpaku padanya.

Mas Arif tersenyum, memberikan senyuman manis yang tak seperti biasanya karena senyumnya kali ini memancarkan aura kebahagiaan darinya. "Iya, Lana. Sama-sama."

Burung-burung beterbangan di langit jingga, kami menyusuri jalan menuju rumah. Hanya beberapa meter lagi untuk sampai di rumah Bu Surnani. Namun, rasanya aku tak ingin segera tiba di rumah. Aku masih ingin menghabiskan hari bahagia ini bersama Mas Arif.

"Lana, aku harap hari-hari indah seperti ini dapat kita rasakan selamanya," ucap Mas Arif seraya menatapku. Tangan kirinya menggenggam erat tangan kananku.

Aku juga berharap begitu, Mas ....

Dalam hati ingin sekali aku menyetujui ucapannya, tapi aku sadar bahwa hal tersebut tidaklah mungkin. Aku tak boleh terlalu larut dalam perasaan ini atau pada akhirnya aku hanya akan membuat luka di antara kami. Bagaimana pun juga kami berasal dari ruang waktu yang berbeda. Ya ... meskipun aku sendiri juga belum tahu kapan aku dapat kembali ke masa depan, sih.

"Kamu juga mengharapkan hal yang sama denganku kan, Lana?" sambung Mas Arif.

"Iya, aku juga berharap begitu ...."

Sebelah alis mata Mas Arif terangkat naik, tatapannya seolah bertanya-tanya atas responku yang terdengar seperti orang yang putus asa. "Kenapa reaksimu seperti itu, Lana? Apa kamu tidak ingin melalui hari-harimu denganku?"

Aku menggeleng, tentu saja aku ingin melalui hari-hariku bersama Mas Arif! Bahkan hingga malaikat pencabut nyawa mendatangiku, aku ingin tetap bersama dengan Mas Arif! Aku memikirkan segala kemungkinan, apakah sekarang adalah saat yang tepat untuk jujur pada Mas Arif tentang asal-usulku?

"Lana, ada apa denganmu? Kenapa kamu diam?" Suara Mas Arif kembali menginterupsi lamunanku.

"Mas, ada hal yang mau aku bicarakan sama kamu, tapi gak di sini," kataku pada akhirnya. Setelah mengalami perang pikiran dan batin dengan diriku sendiri, aku pun memilih untuk jujur padanya sekarang.

"Apa yang ingin kamu bicarakan?" Entah perasaanku saja atau memang benar, tetapi aku merasa bahwa nada bicara Mas Arif terdengar sedikit lebih tinggi dari sebelumnya. Walaupun raut wajahnya tak menunjukkan emosi apapun.

"Ada hal penting yang ingin aku bicarakan, Mas. Kita ke sana aja yuk?" Aku menunjuk ke arah sawah yang di atasnya banyak diramaikan oleh capung yang beterbangan. Mas Arif mengangguk, kami pun berjalan menuju sawah tersebut.

Sesampainya di sawah, Mas Arif langsung meminta penjelasan kepadaku. Aku tak tahu harus memulai dari mana, tapi aku akan berusaha untuk menjelaskannya pada Mas Arif.

Semoga ia percaya dengan kata-kata ku ....

"Jadi, apa yang ingin kamu bicarakan, Lana?" tanya Mas Arif.

"Mas, menurutmu masa depan itu apa?" Kalimat itu terlontar dari mulutku.

Mas Arif mengernyitkan dahinya, ia tak langsung menjawab pertanyaanku. "Masa depan itu adalah segala hal dalam ruang waktu yang akan terjadi cepat atau lambat."

Jawaban dari Mas Arif benar, aku pun kembali bertanya kepadanya, "Apa Mas Arif pernah memikirkan bagaimana masa depan itu akan berlalu?"

"Kalau masa depan sudah berlalu bukannya jadi masa lalu, Lan?"

"Duh, maksudku bukan itu, Mas! Maksudku, apa Mas Arif pernah memikirkan kehidupan seperti apa yang akan terjadi di masa depan?" jelasku dengan kalimat yang lebih komunikatif daripada sebelumnya.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now