6. Jong Java

5.1K 1K 88
                                    

Sepertinya aku sudah mulai terbiasa dengan kehidupan di tahun 1928 ini. Terhitung sudah hampir satu bulan aku berada di sini. Aku juga sudah mulai nyaman dengan kehidupan ku saat ini. Ya walau jujur saja sih, aku rindu dengan keluarga dan teman-temanku, tentunya juga aku rindu memainkan ponsel pintarku atau pergi jalan-jalan ke mall dengan teman dekatku.

Aku bercermin, melihat tubuhku yang kini dibalut dengan kebaya dan jarik. Sudah lama aku tidak menggunakan kebaya, terakhir kali aku menggunakannya adalah saat acara EXPO di sekolahku.

"Sudah rapih? Ayo kita jalan!" ajak Mas Arif dari ambang pintu kamar. Mas Arif mengenakan kemeja putih dengan bawahan jarik. Aku yang semula tengah duduk bersantai di atas kasur sambil bercermin pun langsung berdiri dan mengikuti langkah Mas Arif.

Hari ini Mas Arif akan mengajakku pergi berjumpa dengan beberapa temannya yang juga terikat dalam sebuah organisasi bernama Jong Java. Aku yakin kalian pasti pernah mendengar organisasi ini, kan? Sedikit yang ku ketahui tentang organisasi ini sebenarnya karena aku tidak begitu tertarik dengan pelajaran Sejarah. Jong Java adalah sebuah organisasi yang merupakan kumpulan dari para pemuda di Jawa Raya, mulai dari wilayah barat Jawa sampai ke timur Jawa, meliputi pulau di sekitarnya juga seperti Madura, Bali, dan Lombok. Ya, kira-kira begitu yang ku ingat dari penjelasan guru sejarahku, Pak Cahyo.

Kami berjalan kaki, aku sendiri sebenarnya tidak tau di mana tempat Mas Arif dan teman-temannya akan berkumpul nanti, maka dari itu aku hanya mengekorinya. Kaki ku mulai terasa pegal setelah berjalan selama kurang lebih setengah jam. Mas Arif tiba-tiba saja menghentikan langkahnya. Hal itu juga membuatku berhenti melangkah. Ia menatapku dengan tatapan terkejut sekaligus khawatirnya. "Lana, tadi kamu sudah sarapan atau belum?"

Aku menggeleng. Tentu saja aku belum sarapan. Perutku masih kosong saat ini. Bu Surnani belum pulang dari pasar ketika aku dan Mas Arif pergi. Jadi, tidak ada makanan yang bisa aku santap sebagai sarapan karena biasanya Bu Surnani akan membelikanku nasi uduk yang dibeli oleh beliau di pasar. Kalau aku dan Mas Arif pergi sesudah Bu Surnani pulang dari pasar, pertemuan Mas Arif dengan teman-temannya itu akan tertunda beberapa saat.

Jadi, ya mana sempat, keburu telat.

"Ya Tuhan! Kenapa kamu gak bilang dari tadi sih kalau kamu belum sarapan?" ucapnya sambil menatapku tajam.

"Belum lapar, kok," kilahku yang sedikit ketakutan akibat tatapannya itu.

Mas Arif menghela nafasnya, ia lalu menggandeng tanganku. "Ayo, kita cari sarapan dulu."

Kami pun mampir ke sebuah kedai kecil setelah berkeliling mencari sarapan. Kami duduk di bangku yang berada di depan kedai, Mas Arif kemudian memesan sebuah makanan yang terdengar asing untukku. "Pak, pesan poffertjes-nya satu porsi."

Dengan lihai, sang penjual menuangkan adonan ke dalam cetakan kecil yang berada di atas kompor. Aku mengamati proses pembuatannya. Adonan itu dituang ke dalam cetakan, kemudian didiamkan selama satu menit . Setelah didiamkan, adonan itu dibalik dengan menggunakan capitan, lalu diangkat dan disajikan di atas piring rotan dengan alas kertas nasi.

Ah, ini sih kue cubit. Aku sering membelinya sepulang sekolah dulu, kebetulan di depan gerbang sekolahku ada yang menjual kue cubit. Tanganku mengambil kue itu dari piring, lalu memasukkannya ke dalam mulutku. Aku mengunyah kue yang manis ini. Seperti tengah disihir oleh kenikmatan kue cubit, aku sampai tidak sadar kalau Mas Arif sedari tadi menatapku sambil tersenyum. Bodoh! Aku bahkan lupa untuk menawari Mas Arif.

"Mas Arif mau?" tawarku kepadanya.

Ia menggeleng, lalu melanjutkan kembali aktivitasnya, yaitu menatapku yang sedang mengunyah kue cubit. Sedikit salah tingkah, aku pun memalingkan wajahku ke arah lain, tak mau berhadapan dengannya.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now