13. Merdeka, Kata Terlarang

4.1K 887 64
                                    

Sebelum ayam berkokok, aku sudah lebih dulu bangun dari tidurku. Rasanya tidurku tidak tenang karena gugup, padahal kata Mas Arif, Kongres hari ini akan dilaksanakan pada malam hari. Pagi ini Bu Surnani bangun lebih awal untuk membuatkan kami sarapan. Ah, aku jadi tidak sabar untuk menghadiri Kongres Kerapatan Pemuda nanti!

Langit mulai berubah menjadi jingga, menandakan kalau matahari akan segera terbenam dan bulan akan segera menyapa. Saat ini aku sudah siap dengan kebaya putih dan jarik di bagian bawah, serta rambut yang disanggul. Mas Arif juga terlihat gagah dengan kemeja putih dan blangkon yang ada di kepalanya. Sebelum kami pergi ke Kongres, Bu Surnani menyuruh kami untuk makan sore dulu.

"Rif, minumnya pelan-pelan, jangan buru-buru seperti itu," tegur Bu Surnani kepada Mas Arif yang tengah meneguk teh manisnya.

Mas Arif tersenyum kikuk. "Iya, Bu. Takut telat."

Bu Surnani menggelengkan kepalanya pelan, beliau lalu menoleh ke arahku dan bertanya, "Nak Lana kenapa makannya cuma sedikit? Ayo dimakan lagi, masih banyak makanannya,"

Aku mengangguk pelan, kemudian melahap berbagai makanan yang ada di hadapanku. Namun, aku tidak mau menjadi rakus, tak ingin ambil risiko sakit perut saat tengah rapat nanti kalau makan terlalu banyak.

"Rif, perasaan Ibu gak enak," ucap Bu Surnani setelah aku dan Mas Arif selesai makan. Beliau duduk di sampingku.

"Loh, kenapa, Bu?" tanya Mas Arif bingung.

"Gak tau, Rif." Bu Surnani nampak gelisah, beliau bolak-balik menatap arahku dan ke arah jam yang menempel di dinding ruang tengah. "Rif, Nak Lana, sana pergi. Katanya gak mau telat?"

Baik aku maupun Mas Arif sama-sama mengangguk, kami lalu berpamitan kepada beliau dan berjalan kaki menuju jalan raya untuk menaiki trem. Kata Mas Arif, lokasi Kongres hari ini cukup jauh dari rumah, jadi kami harus menaiki trem untuk menuju ke sana. Atensi kami tertuju pada kerumunan orang yang terlihat panik, beberapa orang berlarian sembari berteriak. Salah satu dari kerumunan orang itu adalah Dadang, teman Mas Arif. Ia berlari menghampiri kami dengan napas yang terengah-engah.

"RIF! ADA API! KEBAKARAN!" teriaknya di depan kami.

Aku dan Mas Arif sontak melotot kaget karena ucapannya. "Di mana, Dang?"

Dadang menunjuk sebuah bangunan yang terletak tak jauh dari tempat kami berdiri, kemudian ia kembali melontarkan sebuah kalimat yang tak kalah mengejutkan, "Rif, Ujang terluka!"

Tubuh Mas Arif melemas, Ujang adalah salah satu teman baiknya. Kami yang semula berjalan menuju jalan raya pun memutar haluan menuju bangunan yang terbakar. Orang-orang beramai-ramai memadamkan api, teriakan ricuh terdengar jelas di kupingku. Jeritan, tangisan, dan api yang melahap bangunan itu membuatku merasa déjà vu.

Kejadian ini mengingatkan aku pada kebakaran yang terjadi di tahun 2020, beberapa bulan sebelum aku terlempar ke masa lalu. Aku ingat betul saat itu aku tengah bermain di rumah Andin, dan tiba-tiba saja rumah tetangga Andin terbakar. Saat itu aku dan Andin hanya berduaan saja di rumahnya karena kedua orang tua Andin pergi bekerja. Kami panik saat menyadari bahwa api sudah mulai menyebar di rumah sebelah. Buru-buru Andin memanggil tetangganya yang lain dan menelpon pemadam kebakaran.

"LAN? KAMU KENAPA? JANGAN BENGONG!" Mas Arif menegurku dengan suara keras karena kondisi sekitar yang tak kondusif membuat suara gaduh terdengar begitu dominan.

"Eh? Iya, Mas. Maaf," jawabku sembari menunduk. Sialan, aku malah terbawa dalam ingatan lamaku. Mas Arif ikut membantu warga memadamkan api, sedangkan aku diminta olehnya untuk menemani Ujang yang tengah merintih kesakitan karena luka bakar yang dirasanya.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now