22. Pergundikan Hindia Belanda

3.5K 787 62
                                    

author's note:
aku update untuk menemani malam minggu kalian! anyway, i'm begging y'all untuk membaca author's note yang ada di akhir chapter sampai selesai, ya!

happy reading! ><

📃📃📃

Seperti yang sudah direncanakan sebelumnya, selesai makan malam aku langsung mengajak Mas Arif untuk melanjutkan obrolan kami siang tadi. Awalnya Niluh hendak ikut dalam obrolan kami, tapi Mas Arif melarangnya.

Huh, kenapa sih Niluh ini? Kenapa ia selalu ingin berdekatan dengan Mas Arif?

"Lana, kenapa kamu pergi tadi siang?" ucap Mas Arif memecah keheningan malam.

"Aku cuma mau menenangkan diri, Mas."

"Cara kamu menenangkan diri itu membuat aku khawatir, Lan," balas Mar Arif tanpa memandangiku sama sekali. Ia mengucapkan kata-kata itu sembari menatap lurus ke depan. "Lan, Niluh itu dulu tetanggaku. Tapi, sejak beberapa tahun yang lalu dia pindah. Aku tak tahu bagaimana kabarnya sejak saat itu, aku dengar-dengar dari orang, katanya dia pindah karena ayahnya telah dipekerjakan oleh salah satu meneer di Meester Cornelis. Dan kemarin saat aku ingin pulang, aku bertemu dengannya lagi."

Tetangga, ya? Kalau memang tetangga, kenapa Ahmad tidak kenal dengan Niluh? Saat aku bercerita pada Ahmad tadi siang, ia bahkan sempat bertanya padaku, "Niluh siapa?".

"Mas Arif gak bohong, kan?" Ragu-ragu aku bertanya padanya.

"Ya Tuhan, Lan! Kamu meragukan aku?"

Aku mengangguk. Jujur, aku meragukannya. Namun, setelah ku pikir-pikir masuk akal juga kalau ternyata Niluh memang tetangga Mas Arif dulu. Toh, Bu Surnani nampak biasa saja saat Mas Arif meminta izin agar Niluh dapat menginap di rumah. Mereka juga terlihat sudah saling mengenal satu sama lain.

Ah, gak tau deh! Pusing!

Mungkin karena tak ada tanggapan dariku Mas Arif pun melanjutkan ucapannya. "Tadi Salim sempat bilang kepada ku, katanya kamu bertanya tentang Niluh kepadanya. Lana, aku ingin jujur padamu. Yang dikatakan Salim memang benar, Niluh adalah cinta pertamaku. Tapi, itu sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu. Perasaanku padanya kini tak lagi sama."

"Kalau memang udah gak ada rasa, kenapa kamu gak menolak saat dia mencium kamu, Mas? Lalu, kenapa Mas Arif masih menaruh perhatian padanya?"

Skakmat! Mas Arif tak langsung menjawab pertanyaanku. Ia justru menelan ludahnya, baru setelahnya berkata, "Maaf, aku terkejut saat dia tiba-tiba menciumku, Lana. Perhatianku padanya adalah bentuk dari rasa kemanusiaan. Aku sudah tak mempunyai perasaan apapun padanya."

"Lana, saat aku bertemu dengan Niluh kemarin, dia tak dalam kondisi yang baik. Dia mabuk setelah diajak berpesta oleh meneer ayahnya," sambung Mas Arif.

Aku tak mengerti dengan ucapan Mas Arif. Diajak berpesta oleh seorang meneer? "Maksud Mas Arif apa? Aku gak paham."

"Ayah Niluh diangkat sebagai pekerja oleh meneer setelah menjual Niluh kepada sang meneer seharga tiga puluh gulden," papar Mas Arif yang membuatku tercengang. Bukan main, aku benar-benar terkejut!

Terputar dalam otakku ingatan tentang film yang pernah ku tonton dulu. Film berjudul "Bumi Manusia" yang menceritakan tentang Nyai Ontosoroh yang dijual oleh sang ayah kepada Tuan Mellema seharga dua puluh lima gulden. Dadaku terasa nyeri saat membayangkan bagaimana perasaan Niluh ketika tahu bahwa ayahnya tega menjualnya kepada sang meneer.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now