27. Bittersweet Memories

3.7K 849 115
                                    

Jakarta, 2020.

Suara alarm membangunkanku dari tidurku. Aku membuka mata perlahan, melihat sekeliling sembari mencoba mengingat-ingat sesuatu. Rasanya aneh, ada perasaan asing yang menyeruak dalam diriku saat melihat kamar yang sudah aku tempati bertahun-tahun ini.

Aku mengambil segelas air mineral yang aku taruh di atas meja belajar, kemudian meneguknya. Sembari mencoba mengingat-ingat apa yang baru saja terjadi, aku pun memasuki kamar mandi yang ada di dalam kamarku untuk mencuci wajah. Saat tengah berkaca, aku menyadari bahwa mataku terlihat sembab, mungkin karena terlalu lelah belajar Biologi semalam. Atensiku tertuju pada sebuah kalung yang menggantung indah di leherku. Aku menyentuh dan mengamati kalung itu, sekelebat ingatan pun muncul. Entah mengapa bayangan seseorang yang tengah memasangiku kalung tiba-tiba saja lewat di pikiranku. Namun, aku tidak dapat mengingat lebih jelas kelanjutannya.

"Ini hari apa, ya?" ucapku bermonolog. Aku pun keluar dari kamar mandi untuk mengecek kalender, tertera di sana bahwa sekarang adalah hari Kamis. Itu artinya aku harus segera bersiap untuk pergi ke sekolah. Dengan segera aku kembali ke kamar mandi dan membersihkan tubuh, bersiap-siap untuk menuntut ilmu di sekolah. Lagi-lagi saat tengah mencuci rambut dengan sampo aku merasa aneh. Ini tidak seperti biasanya.

Selesai membersihkan tubuh, aku memakai seragam sekolahku, tetapi untuk kesekian kalinya aku merasa aneh. Perutku mulai berdemo karena kelaparan. Duh, sepertinya kemarin malam aku lupa makan malam, makanya sekarang perutku terasa sangat lapar. Sebelum aku melangkah menuju meja makan untuk sarapan, aku memutuskan untuk merapikan tempat tidurku dahulu. Aku menarik selimut yang sempat aku gunakan untuk membungkus tubuhku saat terlelap tadi. Saat aku menariknya, sepucuk surat dan sebuah foto yang dicetak ikut tertarik dan jatuh. Tanganku reflek mengambilnya.

Kepalaku mendadak pusing setelah melihat foto yang menampilkan diriku dengan seorang laki-laki. Foto itu terlihat seperti foto cetakan awal abad ke-20. Surat yang ikut tertarik tadi pun kubaca isinya, betapa terkejutnya aku setelah selesai membacanya.

Aku tertegun, ingatan tentang aku yang terlempar ke tahun 1928 kembali terputar di kepalaku. Aku ingat waktu pertama kali aku terbangun di tahun 1928, seorang laki-laki yang membawa banyak berkas di tangannya menolongku. Ia membawaku ke rumahnya dan mengizinkanku untuk tinggal di sana bersama dengan ibu dan dirinya. Aku juga ingat dengan tetangga dan teman-teman yang aku jumpai di sana.

"Mas Arif ...." Tangisku perlahan pecah setelah berhasil mengingat semuanya. Mulai dari awal pertemuan kami, Kongres Kerapatan Pemuda, bahkan hingga kejadian menegangkan malam itu. Hatiku sakit mengingat semua kenangan manis yang pernah kami lalui. Andai malam itu aku menahan Mas Arif untuk tidak pergi, tentu hal ini tak akan terjadi. Namun, takdir Tuhan berkata lain ....

Foto dan surat itu kusimpan di dalam laci meja belajar karena aku tak sanggup melihatnya. Seragam yang aku pakai terkena tetesan air mata, wajahku memerah karena menangis. Di tengah isak tangisku, pintu kamarku diketuk dari luar.

"Boleh Ibu masuk, Lan?" Suara ibuku yang sudah lama tak kudengar pun mengisi ruangan.

"Iya, masuk aja, Bu."

Ibu membuka pintu, beliau terkejut saat melihat aku yang kacau karena menangis. Tubuhnya langsung memelukku, tangannya membelai dan berusaha untuk menenangkan diriku. Setelah tangisku reda, ibu bertanya, "Kenapa menangis, Lan? Sini cerita sama Ibu."

"Lana mimpi buruk, Bu ...."

"Astaga, sini Ibu peluk," ucap ibu seraya memelukku lebih erat lagi. Sejujurnya aku pun tak tahu apakah yang kualami hanya sekadar mimpi atau memang realita. Jika memang hanya mimpi, lalu mengapa surat, foto, dan kalung itu bisa berada di sini? Dan jika yang kualami adalah realita, bagaimana mungkin aku bisa terlempar ke masa lalu?

Melihat keadaanku yang tak baik membuat ibu menyuruhku untuk izin tidak masuk sekolah. Namun, aku menolaknya. Hari ini aku ada jadwal untuk latihan paskibra sebagai persiapan upacara peringatan hari Sumpah Pemuda. Aku tidak mau membuat Mas Arif kecewa.

Meskipun hati dan pikiranku kini masih terbawa suasana, tetapi sebisa mungkin aku mencoba untuk menjalani hariku seperti biasanya. Aku berpamitan kepada orang tuaku, kemudian menaiki ojek online yang akan mengantarku ke sekolah. Sesampainya di kelas, aku langsung menaruh tasku dan mengeluarkan buku catatan Matematika Minat untuk mengingat kembali materi yang sudah dipelajari sebelumnya.

"Lan? Lo kenapa anjir?" tanya Gerald sembari menatapku, "lo habis nangis?"

"Iya, aku habis nangis ...." jawabku dengan suara pelan. Seketika aku kembali teringat dengan Mas Arif.

"Aduh ... jangan nangis lagi, ya? Habis ini kita masuk jam pelajaran Bu Ai, kalau lo nangis bisa gawat. Lanjutin nangisnya nanti aja pulang sekolah, kalau lo mau cerita ke gue juga gak apa-apa kok, gue free hari ini." Gerald menepuk-nepuk pundakku yang aku balas dengan anggukan. Aku tahu Gerald paling tidak bisa melihatku menangis. Walaupun ia menjengkelkan, tetapi ia adalah salah satu teman baikku.

Selama di sekolah, aku tidak dapat mengikuti pelajaran dengan baik. Pikiranku terus-menerus diisi oleh bayang-bayang Mas Arif. Bahkan hingga aku pulang ke rumah dan beristirahat, bayangan Mas Arif masih mendominasi pikiranku.

Ah iya, aku harus mencari makam Mas Arif!

📃📃📃

Hari demi hari berlalu, setelah berlatih secara intensif selama dua minggu, kini tibalah saatnya untuk aku tampil di lapangan. Aku masih ingat betul kalau 92 tahun yang lalu di tanggal dan bulan yang sama aku tengah berada di dalam ruang Kongres bersama Mas Arif dan lainnya, mengikuti serangkaian Kongres Kerapatan Pemuda yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Hari ini, tepatnya pada tanggal 28 Oktober 2020 seluruh masyarakat memperingati hari Sumpah Pemuda.

Pakaian Dinas Upacara yang kami kenakan membuatku dan petugas upacara lainnya terlihat gagah. Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya perlahan.

"Jangan gugup, inhale exhale, Lan. Gue yakin lo bisa!" Gerald sedari tadi menenangkan aku yang gugup, bahkan Gerald sampai-sampai berangkat lebih awal untuk membawakanku sarapan agar aku tidak pingsan saat bertugas nanti.

Sang protokol upacara berdiri di pinggir lapangan sembari memegang teks yang berisi rangkaian upacara. "Upacara pengibaran bendera Merah Putih dalam rangka memperingati hari Sumpah Pemuda, Rabu, 28 Oktober 2020 segera dimulai. Pemimpin upacara memasuki lapangan upacara."

Satu-persatu rangkaian upacara terlaksana, kini giliran kami pasukan pengibar bendera untuk mengibarkan bendera Merah Putih. Derap langkahku dengan pasukan pengibar bendera lainnya terdengar serempak. Semua peserta upacara berdiri tegap dan hormat saat bendera berkibar. Alunan lagu "Indonesia Raya" menjadi iringan prosesi pengibaran. Aku tersenyum karena teringat dengan Kongres, pada saat itu kami hanya menggunakan alunan biola yang dimainkan oleh Wage Rudolf Supratman.

Upacara ditutup dengan pembacaan doa dan pembubaran barisan peserta upacara. Ada perasaan bangga dan senang di dalam hatiku setelah berhasil menyelesaikan tugasku. Kalau dulu aku merasa kesal, malas, dan terbebani karena upacara, sekarang aku merasa sebaliknya. Pertemuanku dengan Mas Arif telah mengubah banyak hal. Ia mengajariku cara untuk menghargai jasa-jasa para pahlawan dan tokoh yang telah memperjuangkan bangsa Indonesia.

"Mantap, keren banget lo tadi jadi pasukan pengibar! By the way, ini buat lo, diminum ya biar gak kekurangan cairan," ujar Gerald sambil menyodorkan sebotol minuman elektrolit. 

"Thanks, Gerald." Dengan senang hati aku menerima pemberiannya.

Gerald tersenyum, kemudian bertanya, "Nanti sore jadi cari makamnya?"

"Jadi, jam empat sore mau?"

"Terserah, gue ngikut aja," balas Gerald, "memangnya mau cari makam siapa sih, Lan?"

Sejak aku memintanya untuk menemaniku mencari makam Mas Arif, Gerald selalu bertanya makam siapa yang hendak kucari karena aku tidak bercerita kepadanya tentang peristiwa aku yang terlempar ke masa lalu. "Ada deh, lihat saja nanti."

"Tuh kan, dasar Lana Del Rey!"

📃📃📃

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now