26. Gugur Bunga

4.3K 904 380
                                    

author's note:
prepare urself before read it, enjoooy!

📃📃📃

Tubuhku seketika lemas setelah mendengar kabar yang dibawa oleh Salim. Mas Arif ditangkap? Tidak mungkin! Aku yakin Mas Arif mampu menjaga dirinya dengan baik. Tak mungkin semudah itu ia tertangkap.

"Salim, jangan bohong ...." kataku dengan suara yang terdengar sedikit bergetar karena terkejut.

Salim menggeleng, ia sempat merintih kesakitan sebelum akhirnya membalas, "Aku gak bohong. Arif ditangkap saat tengah bernegosiasi dengan beberapa centeng yang tengah berjaga, Lana! Saat kami tengah memberontak, ada beberapa tentara KNIL yang tengah berlalu-lalang di sekitar sana."

Sekarang tubuhku benar-benar lemas bukan main. Saking lemasnya aku bahkan tak mampu menahan tubuhku sendiri. Aku hampir saja terjatuh jika tangan kiri Salim tak menahanku. Mulutku kelu, tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Dari pintu rumah, Salim berteriak memanggil Bu Surnani yang berada di kamar. Setelah beberapa panggilan, beliau pun keluar dengan wajah terkejutnya melihat Salim dan seorang pejuang lainnya dalam keadaan yang tak baik-baik saja.

"Bu, Arif ditangkap. Dia dan beberapa pejuang lainnya dibawa ke dekat barak." Salim memberitahu beliau. Tangan Bu Surnani reflek menyentuh dadanya, napasnya seolah tersendat tatkala ia mengetahui kenyataan bahwa putra tunggalnya tertangkap oleh para centeng. Dengan sigap aku dan Salim menenangkan beliau, kami pun langsung berlari menuju sado yang rupanya dibawa oleh Ruli, salah satu teman Mas Arif yang pernah aku jumpai saat di Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia. Ternyata ia yang mengantar Salim dan pejuang lainnya ke sini.

Dibantu oleh Salim, aku dan Bu Surnani menaiki sado. Kami meluncur menuju lokasi yang telah diberitahukan oleh Salim sebelumnya. Perasaanku sangat tidak enak, kantukku hilang total. Yang ada di pikiranku saat ini hanya Mas Arif.

Ruli membawa sado dengan kecepatan tercepat yang ia bisa, kuda yang menarik kami pun berjalan dua kali lebih cepat dari biasanya. Suara langkah kuda dan jangkrik saling bersahutan, mengisi kesunyian di tengah malam. Sesampainya kami di belakang barak, aku melompat dari sado. Beberapa centeng menghadang kami, senapan-senapan yang berisi peluru diarahkan ke arahku. Aku menelisik area barak, berusaha mencari Mas Arif. Namun, hasilnya nihil.

"Ada apa ke sini?" tanya salah satu centeng kepada aku.

Belum sempat aku menjawab, Salim sudah lebih dahulu menjawabnya, "Dia mau bertemu dengan Arif."

Beberapa centeng yang ada di sekitar situ saling berpandangan satu sama lain sebelum akhirnya tertawa dan menatapku dengan tatapan menilai. Centeng itu pun mengangguk-angguk, kemudian menarikku menuju bagian selatan barak yang didominasi oleh pohon.

"Orang itu yang kamu cari?" tanyanya. Aku mengangguk, lalu berlari menuju Mas Arif, tetapi tanganku ditahan oleh centeng tersebut.

"Dunia ini keras, berani memberontak, berani mengetahui konsekuensinya," ucapnya sembari menarik tanganku. Ia lalu berteriak kepada seorang pria yang berjaga tak jauh dari tempat Mas Arif ditahan. Tentu saja teriakannya tersebut menarik perhatian Mas Arif. Wajah Mas Arif pucat, dengan lemah ia menggelengkan kepalanya seraya menatapku.

Aku ingin menghampirinya, sebisa mungkin aku melawan centeng yang tengah menahan tubuhku, tetapi tetap saja tenagaku tak sebanding dengannya. Di tempat lain rupanya Salim, Ruli, Bu Surnani, dan pejuang lainnya tengah diinterogasi oleh para pekatik, sebutan untuk para penuntun kuda yang bekerja pada sang tuan tanah. Perlawananku rasanya tidak membuahkan hasil, maka aku putuskan untuk mengeluarkan jurus andalanku, yaitu menendang bagian vital dari centeng tersebut.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now