3. Tas Hitam

5.9K 1.1K 78
                                    

Sesuai dengan ucapannya kemarin, hari ini Mas Arif akan mengajakku keliling Batavia. Aku sangat bersemangat sekali hari ini! Rencananya, Mas Arif akan mengajakku pergi saat siang nanti. Setelah selesai sarapan, Bu Surnani mengajakku untuk pergi ke sungai di dekat rumah untuk mencuci baju. Aku tidak keberatan sih, setidaknya aku masih tau diri untuk tidak hanya merepotkan keluarga Mas Arif selama tinggal di sini.

Sebelum kami pergi ke sungai, Bu Surnani menyuruhku untuk mengganti pakaianku. Beliau memintaku untuk menggunakan kain kemben jika ingin pergi ke sungai. Aku menurutinya, meskipun jujur aku merasa risih karena bahuku jadi terekspos dengan bebas. Aku dan Bu Surnani berjalan menuju sungai. Kami menyusuri jalanan tanpa alas kaki. Tanah dan batuan yang kuinjak membuatku merasa sedikit tidak nyaman, seperti ada yang mengganjal.

"Nak Lana kenapa?" tanya Bu Surnani. Ah, sepertinya beliau sadar kalau aku merasa tidak nyaman dengan keadaan seperti ini.

"Gak apa-apa, Bu. Hanya belum terbiasa," jawabku sembari tersenyum.

Setelah berjalan sekitar sepuluh menit, kami akhirnya sampai di sungai, rupanya di sana sudah sangat ramai. Bu Surnani meletakkan baju-baju kotor yang kami bawa dari rumah pada sebuah alas rakitan bambu. Kami mendudukkan diri kami di pinggir sungai, bersebelahan dengan para ibu lainnya yang tengah mencuci pakaian milik mereka. Beberapa anak kecil juga tengah asyik bermain air di sungai yang sepertinya hanya memiliki kedalaman sekitar 1 meter itu.

Aku memperhatikan bagaimana para ibu di sini mencuci pakaian mereka. Rupanya, mereka menggunakan sebuah papan kayu bertekstur kasar yang dijadikan sebagai tempat untuk menggosok-gosokkan pakaiannya. Papan ini mirip seperti papan cucian kayu yang dulu pernah aku miliki di Malang.

Ku putuskan untuk mengambil salah satu baju kotor yang kami bawa, kemudian aku mencoba untuk mencucinya. Tolong jangan hujat aku, jujur saja aku tidak pernah mencuci pakaian dengan papan cucian seperti ini. Selama ini aku biasa mencuci pakaian dengan menggunakan mesin cuci, bukan secara manual seperti ini. Aku baru mencuci sebanyak empat baju, tapi rasanya tanganku mulai sakit. Aku mengeluarkan seluruh tenagaku untuk mencuci pakaian-pakaian ini.

"Hoi, Lana! Lo lagi nyuci baju juga?" Ahmad tiba-tiba saja menyapaku. Ia datang bersama dengan Nyak Siti. Di tangan Ahmad terdapat sebuah ember besar, isinya adalah baju-baju kotor yang akan ia cuci nanti.

"Iya, kamu mau nyuci juga?" tanyaku kepada Ahmad.

Ia mengangguk, lalu ikut duduk di sebelahku. Ahmad mengeluarkan papan cuciannya, ia kemudian menggulung celana dan lengan bajunya. Sebelum ia mulai mencuci, Ahmad menaruh peci hitam yang ia kenakan di atas alas rakitan bambu.

"Jangan bengong, Lan! Bukannya nyuci malah ngeliatin gue yak lo!" kata Ahmad sembari terkekeh. Ia mengambil baju kotor yang dibawanya, kemudian mulai mencucinya.

Tak mau kalah darinya, aku kembali fokus untuk mencuci pakaian-pakaian kotor ini. Aku tidak peduli dengan tanganku yang mulai terasa sakit dan pegal, ini hanyalah efek awal karena aku belum terbiasa mencuci pakaian secara manual seperti ini.

Dalam hati aku mulai bertanya, mengapa aku tidak melihat kehadiran kakaknya Ahmad di sini?

"Ahmad! Emmer-nya bawa sini!" teriak Nyak Siti pada Ahmad. Teman baruku itu mengangguk, ia kemudian menggeser ember yang dibawanya tadi ke arah sang ibu.

"Emmer itu ini?" tanyaku sembari menunjuk ember tadi.

Ahmad menganggukkan kepalanya. "Iya, ini emmer."

Ah, kosakata ku kini bertambah lagi! Aku kembali melanjutkan aktivitas mencuciku. Kini, gantian Ahmad yang menatapku. Sebuah senyuman tipis terlihat dari bibirnya. Aku menelan ludahku, sedikit salah tingkat akibat tatapannya. "Ahmad, jangan menatapku seperti itu."

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now