9. Kamu Percaya?

4.1K 915 55
                                    

Sejak kemarin, Mas Arif menjadi super sibuk. Ia selalu berangkat sebelum matahari terbit dan pulang ketika jam menunjukkan pukul sebelas malam. Aku bahkan hanya bertemu Mas Arif saat ia selesai beribadah di pagi hari sebelum berangkat untuk berkumpul dengan pemuda lainnya. Namun, ia tetap menyempatkan diri untuk memberikanku surat sebelum ia pergi. Aku jadi bertanya-tanya, sebenarnya kenapa Mas Arif selalu mengirimiku surat tiap pagi, ya?

Sekarang aku merasa bosan. Yang aku lakukan saat ini hanyalah duduk bersantai di halaman rumah sembari menikmati angin sepoi-sepoi yang mengenai wajahku. Bu Surnani sedang tidur siang di kamarnya. Aku mengayun-ayunkan kakiku sembari bersenandung ria, melantunkan lagu-lagu yang biasa aku dengar di masa depan.

"Love you every minute, every second."

"Love you everywhere and any moment."

"Always and forever I know I can't quit you cause baby you're the one, I don't know how."

Di sela-sela nyanyianku, wajah Mas Arif tiba-tiba saja muncul dalam pikiranku. Tindakan manisnya beberapa hari ini sungguh membuatku bertanya-tanya pada perasaanku sendiri. Dari tempat ku duduk sekarang, aku dapat melihat dan mendengar Ahmad yang tengah melambaikan tangannya, ia memanggilku dari halaman rumahnya. Rambutnya yang masih basah membuatku menebak-nebak,

Ahmad pasti baru selesai mandi!

"Eh, Lana! Lagi apa lo?" ucapnya setelah ia berada di dekatku.

"Cuma duduk aja. Kamu habis mandi ya?"

Ahmad yang mendengar ucapanku pun mengernyitkan dahinya. "Tau dari mana lo kalau gue habis mandi?"

Aku terkekeh pelan, lalu menunjuk rambutnya yang masih basah itu. Ahmad reflek menyentuh rambutnya, ia kemudian memberikan cengiran khasnya dan tertawa. "Oh iya, masih basah ya hahaha. Bener juga lo, Lan!"

"Eh, Lan, lo bosen kagak?" lanjut Ahmad. Ia ikut duduk di sebelahku sekarang.

"Iya, bosen bangeet!" jawabku dengan helaan nafas berat.

Belum sampai satu menit Ahmad duduk, ia sudah bangkit dan berdiri lagi. Ia mengulurkan tangannya kepadaku. "Yuk kita main!"

Matahari siang ini tidak begitu terik dan panasnya pun tidak terlalu menyengat. Dengan ragu-ragu, aku menerima uluran tangannya. "Ahmad, aku harus izin ke Bu Surnani dulu sebelum main," kata ku seraya menggaruk kepalaku yang tidak gatal.

Ahmad mengangguk, ia kemudian melirik pintu rumah, bermaksud menyuruhku untuk masuk ke dalam dan meminta izin kepada Bu Surnani. Sesuai dengan arahannya, aku pun masuk ke kamar Bu Surnani dan mendapati Bu Surnani yang tengah duduk di atas kasurnya. Syukurlah, aku jadi tidak perlu membangunkan beliau dari tidur siangnya hanya untuk meminta izin.

"Nak Lana mau main ya sama Dodot?" ucap Bu Surnani dengan senyuman.

Eh? Kok Bu Surnani tau?

"Iya, Bu. Lana boleh main sama Ahmad?" tanyaku pada beliau.

Bu Surnani masih menatapku dengan senyumannya. "Tentu boleh, mana mungkin Ibu melarangmu main dengan Dodot?"

Setelah mendapat izin dari Bu Surnani, aku pun berpamitan pada beliau dan keluar dari kamarnya. Ahmad sudah menungguku di halaman rumah. "Gimana? Boleh?" tanyanya.

"Boleeh!"

Di bawah cahaya matahari yang masih bersinar, kami berjalan menuju tengah kota Batavia. Ahmad mengajakku berjalan melewati jalan-jalan kecil, atau mungkin bisa aku sebut sebagai jalan tikus. Beberapa kali aku menjumpai orang-orang dengan ras kaukasoid yang tengah bersantai di halaman rumah mereka.

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now