23. Everything Has Changed

3.2K 804 76
                                    

Sejak aku tinggal bersama dengan Bu Surnani, aku merasa menjadi lebih mandiri dalam berbagai hal. Pagi ini aku, Bu Surnani, dan Nyak Siti akan mencuci baju di sungai seperti biasanya. Dengan ember besar berisikan setumpuk pakaian kotor, kami pun berjalan menuju sungai.

"Si Dodot itu ye, sejak jadi anak tunggal selalu main mulu ke mana-mana. Pulang selalu sore, padahal dulu kalau disuruh keluar rumah aja kagak mau anaknya," ucap Nyak Siti sembari mengucek-ucek baju kotor yang tengah dicucinya.

"Bosan dia sendirian, dulu kan ada kakaknya," sahut Bu Surnani dengan senyum teduhnya.

Nyak Siti mengangguk-angguk, setuju dengan ucapan Bu Surnani. "Iye juga sih, Mpok. Si Dodot mungkin kagak betah di rumah karena sepi kali, ye."

Selama mencuci pakaian, Nyak Siti selalu bercerita tentang Ahmad. Aku dan Bu Surnani menyimaknya dengan seksama. Mendengar cerita dari Nyak Siti tentang Ahmad membuatku tahu satu hal bahwa Ahmad dulunya adalah orang yang sangat pendiam dan pemalu, tetapi katanya sejak sang kakak pergi meninggalkannya, ia berubah 180° seperti sekarang.

Ya ... sebenarnya agak aneh sih bagiku mendengar hal tersebut. Namun, aku tak mau mengambil pusing akan hal tersebut. Cucian yang ada di ember kami sudah hampir tercuci secara keseluruhan, hanya menyisakan beberapa kemeja milik Mas Arif yang harus dicuci dengan hati-hati karena takut robek. Nyak Siti yang sudah selesai lebih dahulu pun hanya menatap ke arah kami sembari melanjutkan ceritanya tentang Ahmad. "Si Dodot ye bukan cuma sikapnya aja yang berubah, tapi porsi makannya ikut berubah. Sehari bisa makan sebakul, gelo (gila)!"

Aku dan Bu Surnani tertawa mendengar kata-kata yang dilontarkan oleh Nyak Siti. Tentu saja kalimat yang diucapkannya tadi hanyalah hiperbola belaka, Ahmad memang memiliki porsi makan yang cukup banyak, tetapi tidak sampai menghabiskan satu bakul nasi dalam sehari.

Tak terasa semua pakaian kotor kami pun telah tercuci. Kami tidak mau berlama-lama berada di sini karena semakin siang suasana di sekitar sungai semakin ramai dengan adanya sado dan term yang lewat. Sepanjang perjalanan, perutku terus memberikan sinyal untuk segera diberi makan. Sesampainya kami di rumah, Bu Surnani langsung berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan yang merangkap makan siang.

"Nak Lana, boleh tolong ambilkan  piringnya?" ucap Bu Surnani yang meminta tolong kepadaku. Dengan sigap aku mengangguk dan memberikannya sebuah piring yang tadi ditunjuk oleh beliau.

Sedari pagi Mas Arif sudah pergi untuk berkumpul dengan para pejuang lainnya. Aku tidak tahu apakah ia sempat sarapan atau tidak, tetapi aku berharap Mas Arif tak lupa untuk makan.

Makanan yang dimasak oleh Bu Surnani pun telah matang, kami duduk melingkari meja makan untuk menyantap sarapan sekaligus makan siang ini. Dengan sangat lahap aku menyantapnya. Maklum, perutku sudah sejak tadi meminta agar segera diisi.

Selesai makan, biasanya Bu Surnani langsung berjalan menuju keran bambu di belakang rumah untuk mencuci piring. Namun, kali ini beliau tidak melakukannya, beliau tetap berada di tempat duduknya seraya menatapku yang masih makan. Hal itu membuatku sedikit bingung.

"Kenapa, Bu?" tanyaku setelah menelan suapan terakhir.

"Nak Lana, Ibu jadi teringat saat Nak Lana pertama kali datang ke sini," ujar Bu Surnani menanggapi pertanyaanku.

Aku hanya tersenyum kikuk mendengarnya. Ah, aku jadi ingat saat di mana Mas Arif berkata kepada Bu Surnani bahwa ia menemukanku di jalan. Ya ... meskipun memang seperti itu faktanya, tapi tetap saja aku merasa jengkel saat mendengar dan mengingatnya!

"Nak, kamu tahu? Sejak kamu datang ke sini, ada banyak hal yang berubah," kata Bu Surnani, "dulu Arif seringkali murung karena teringat dengan bapaknya, tetapi kehadiranmu seolah menjadi obat untuknya. Kamu sudah memberikan Arif semangat baru, Nak Lana."

Tanganku digenggam oleh Bu Surnani, beliau tak henti-hentinya mengucapkan rasa terima kasihnya kepada aku. "Nak Lana, terima kasih banyak sudah hadir dalam hidup Arif. Tolong jangan tinggalkan Arif ya, Nak. Arif adalah satu-satunya yang Ibu punya. Tolong jaga perasaannya."

Ah, rasanya aku ingin menangis sekarang. Mungkin aku memang terlalu sensitif. Namun, sejujurnya kalimat yang diucapkan oleh beliau tadi cukup membebaniku. Aku ingin kembali ke masa depan dan melanjutkan hidupku seperti sedia kala, tetapi aku juga tak mau meninggalkan orang-orang yang aku jumpai di tahun 1928, terutama Mas Arif.

Karena aku tak sanggup menjawab ucapan Bu Surnani dengan kata-kata, aku hanya mengangguk sebagai jawaban. Aku percaya bahwa Tuhan memiliki rencana yang terbaik untuk kami.

Ya, aku percaya pada takdir Sang Pencipta.

📃📃📃

"Ahmad! Jangan lari!" teriakku kepada putra Nyak Siti tersebut.

Bukannya menghentikan langkahnya, Ahmad justru mempercepat langkah lariannya, membuatku kesulitan untuk mengejarnya.

"Capek ye, Lan?" tanya Ahmad saat kami tengah duduk di bawah sebuah pohon jati yang sangat besar.

Aku menatap Ahmad dengan perasaan dongkol. Bisa-bisanya ia memberikan pertanyaan seperti itu setelah membuatku berlari-lari mengejarnya. "Pertanyaanmu retoris, Ahmad."

Ahmad terkekeh, ia lalu menarik tanganku untuk berdiri. Aku menepisnya, tetapi tenaga Ahmad jauh lebih besar daripada aku sehingga aku pun bangkit dan menerima uluran tangannya. Ahmad mengajakku untuk duduk di dekat rawa yang kebetulan tak jauh dari pohon jati tadi. "Lana, aku mau bertanya."

"Aku gak mau jawab."

"Kenapa? Aku bahkan belum ngasih tahu pertanyaannya," balas Ahmad seraya mendelik ke arahku.

"Aku kesal sama kamu, Ahmad," kataku yang membuat Ahmad tertawa terbahak-bahak. Ia menggelengkan kepalanya, membuat peci hitam yang menjadi ciri khasnya pun miring.

Putra Nyak Siti itu pun pada akhirnya bertanya, "Apa kamu udah menemukan cara untuk kembali ke masa depan?"

Mendengar pertanyaan, aku terdiam sesaat. Sejujurnya hingga detik ini pun aku masih belum memiliki ide atau cara untuk kembali ke masa depan, memikirkannya pun tidak. Aku lantas menggeleng, kemudian Ahmad menghela napasnya berat.

"Memangnya kenapa?" Aku bertanya kepadanya. Ahmad hanya menggeleng sembari tersenyum tipis, entah perasaanku saja atau memang benar, tetapi aku merasa ada perasaan kecewa dari dalam diri Ahmad setelah mendengar jawabanku.

Kami pun melanjutkan topik pembicaraan mengenani hal lain. Namun, aku merasa bahwa Ahmad menjadi sedikit pasif. Ia tak sebawel biasanya, cenderung mendengarkan ceritaku saja. Langit mulai menggelap, menandakan bahwa malam akan segera datang. Aku bangkit dari dudukku dan mengajak Ahmad untuk pulang. Pemandangan para bebek yang tengah berbaris mengelilingi rawa membuatku tertawa, aku jadi teringat dengan latihan baris-berbaris untuk persiapan upacara hari Sumpah Pemuda.

Ah, sepertinya posisiku sebagai pasukan pengibar bendera sudah digantikan oleh salah satu temanku. Kira-kira di masa depan, sekarang bulan apa, ya? Aku bahkan lupa sudah berapa lama aku terjebak di tahun 1928. Memikirkan hal tersebut membuatku termangu, Ahmad pun menepuk bahuku dan berkata, "Lana, ayo pulang."

Aku memberikan sebuah anggukan padanya. "Iya, ayo pulang!"

"Oh ya, Lana. Kalau kamu sudah menemukan cara untuk kembali ke masa depan, tolong beri tahu aku juga, ya?"

📃📃📃

Tanah Airku [SUMPAH PEMUDA]Where stories live. Discover now