13. "My feelings for you, it is always real."

1.5K 158 3
                                    

Langit yang berwarna biru sendu menaungi Birmingham malam ini. Salju yang ikut setia menghantam permukaan bumi membuat beberapa jalan terpaksa ditutup karena tertimbun salju. Jarum jam masih menunjukan pukul tujuh malam, namun Birmingham terlihat telah terlelap.

Bright menghembuskan nafas berembunnya setelah menyalakan perapian kecil di tengah ruangan. Rambut legam basahnya masih meneteskan beberapa titik air, menandakan pria itu baru selesai membersihkan diri.

Mendekatkan diri ke perapian, Bright memperhatikan kedua tangannya yang gemetar pelan. Rasa hangat menjalar di telapak tangannya. Sepasang matanya sedang terpejam saat sebuah handuk hinggap di kepalanya.

"Biar aku keringkan rambutmu."

Win menarik kursi yang akan didudukinya mendekat pada Bright. Membawa bahu lebar Bright agar bersandar pada kaki jenjangnya. Kedua tangan Win mengusap rambut legam Bright, sesekali memberikan pijatan lembut.

Seharian ini mereka menghabiskan hari dengan tinggal di flat. Bermain dan membicarakan banyak hal. Bright sesekali bermain gitar dan membiarkan Win bernyanyi. Bright juga mengajari Win memasak menu ringan, agar Win tidak terlalu banyak mengonsumsi makanan instan.

Bertukar cerita tentang keseharian mereka, mengungkit kembali masa remaja yang konyol. Tentang tempat-tempat indah yang ingin Win jelajahi, juga mimpi-mimpi Bright yang ia bicarakan dengan mata berbinar.

Bright dan Win memanfaatkan waktu berharga mereka dengan baik, hingga saat Bright enggan membicarakan tentang sesuatu dan menaikan suaranya. Membentak Win. Pria berkulit cokelat itu memilih pergi membersihkan diri, berharap kepalanya kembali tenang.

"Hhh..." Bright menghembuskan nafasnya panjang, menyandarkan kepalanya pada paha Win yang terbalut celana tebal. Mata elang Bright menatap sayu api merah yang menerangi wajah tak berekspresinya.

Menyimpan handuk kecil, Win tersenyum lalu membungkukan dirinya. Menyelipkan kedua tangannya pada leher Bright dan menyentuh pipi tirus Bright dengan pipi hangatnya. Dari jarak sedekat ini, Win dapat merasakan jantungnya yang mulai berdegup cepat.

"Kau suka?" tanya Win tanpa melepas dekapannya.

Bright mengangguk pelan, menekan kepalanya lebih dalam pada bahu Win. Ini gila, Bright menemukan rasa nyaman berada di dekat Win Metawin. Rasanya sangat hangat hingga Bright lupa tentang malam-malam sepinya.

"Aku tidak siap kau pergi, Win."

Win diam, memberi ruang pada Bright untuk menjelaskan emosi yang ditahannya sejak tadi.

"Aku seperti prajurit tersesat di kastil Elsa," Bright tertawa pelan, "Eropa tanpamu benar-benar sebuah cobaan, Win."

"Kapan masa pertukaranmu berakhir?"

"Tidak menentu, tapi tidak sampai setahun lagi. Lalu, aku kembali ke New York untuk menyelesaikan semester, baru bisa kembali ke Bangkok-" Bright menoleh, menatap wajah Win dari dekat, "Bagaimana denganmu?"

Win menjelaskan tentang pendidikan yang dijalaninya. Sembilan puluh persennya tentang kerumitannya menghadapi jurusan ekonomi yang diambilnya. Win juga memberi tahu alasan mengapa ia tidak mengambil jurusan arsitek atau sastra seperti yang ia mau.

Bright diam memperhatikan setiap garis wajah Win ketika pria itu berbicara. Andai saja seluruh dunia bisa melihat tatapannya sekarang ini, mereka akan tahu bahwa Bright tidak perlu mengucapkan apapun lagi.

Bright Vachirawit tidak membutuhkan i love you untuk mengungkapkan perasaannya pada Win Metawin. Sama halnya dengan Win yang selalu menyelipkan perasaan di setiap perlakuan kecilnya.

Through & Through [REVISION]Where stories live. Discover now