99

2.5K 140 51
                                    

IT IS YOUR WARNING SIGN.

READ ON YOUR OWN RISK.

READ ON YOUR OWN RISK.

READ ON YOUR OWN RISK.

*****

"Mr. Vachirawit?"

Pria dua puluh tujuh tahun itu bergeming. Mata hitam legamnya yang bersembunyi di balik kacamata hitam terpaku pada gundukan tanah di hadapannya.

"Bright."

"Tunggu, lah, di mobil. Aku akan kesana jika sudah selesai."

Dylan menghela nafasnya berat. Satu tangannya melingkar di bahu laki-laki yang menjabat sebagai anak murid kesayangannya.

"Ayo, biarkan saja dia, Mon."

Tidak memedulikan Dylan dan Chimon yang berjalan menjauh, Bright menekuk lututnya. Meletakan sebuket mawar putih di depan batu nisan dengan nama pujaan hatinya.

"Apa kabar, Win?"

Angin yang berhembus lembut menjawab pertanyaan Bright. Bibir merahnya membentuk senyum simpul.

"Hari ini genap enam tahun kamu pergi. Aku mampir ke Bangkok untuk menjengukmu. Lihat, aku tidak lagi berpakaian acak-acakan seperti dulu."

Ya. Bright berubah.

Sehari setelah bangun dari komanya, Bright mengetahui jika Win hilang dari pandangannya. Tidak ada kabar. Entah dimana dan bagaimana kabarnya. Bright mencoba bersabar sembari menjalani terapinya.

Setahun kemudian, Bright menyelesaikan studinya. Tetap saja, pria menggemaskan itu tidak terlihat batang hidungnya. Win sempurna ditelan bumi.

Bumi tidak tinggal diam.

Kesibukan mulai datang menghampiri Bright. Off dan Tay membuka usaha restauran yang selalu mereka bicarakan. Luke yang berada di bidang interior membantu, memaksa Bright kembali melukis.

Alhasil, restauran mereka terkenal dengan dekorasi seni yang kelam dan indah. Tidak berhenti disitu, Dylan membuka art studionya. Menjadikan Bright sebagai salah satu orang terpandang disana.

Sedikit demi sedikit, nama Bright Vachirawit melembung naik. Selain karena visual wajahnya yang mempesona, lukisan malam pria itu berhasil menarik banyak hati. Ratusan, jutaan, bahkan miliaran, satu persatu lukisan Bright terjual.

"Aku merindukanmu, Win."

Tiga tahun setelah kejadian moonlight di New York, Bright terpaksa kembali ke kota itu. Bertemu dengan koleganya secara langsung. Jantungnya terasa berhenti berdetak saat mengijakan kaki di ruangan lantai empat puluh itu.

Mick berdiri dengan tegap dalam tuksedonya. Tersenyum lebar dengan tangan terbuka menyambut Bright. Ia tidak tahu jika perusahaan Velence yang selama ini membeli lukisannya dengan harga gila adalah milik Opas-iamkajorn.

Atau lebih tepatnya, milik Win Metawin.

"Dimana, Win?"

Itu kalimat pertama yang Bright lontarkan. Berbanding terbalik dengan Bright, Mick tersenyum tenang. Mengeluarkan benda melingkar dengan inisial WM terukir di baliknya.

Mick menjelaskan dengan rinci apa yang terjadi selama ini. Dimana dan bagaimana keadaan pria itu. Air mata Bright meluruh, perasaan bersalah itu menyerangnya. Dugaan Bright seratus persen salah.

Win tidak meninggalkannya.

"Phi tahan jet lag? Kita harus segera ke bandara. Pesawat menuju Bangkok berangkat satu jam lagi."

Through & Through [REVISION]Where stories live. Discover now