Favor

643 91 14
                                    

Shintaro memandang lurus ke bulan dari balkon kamarnya. Mata hijaunya terlihat berkilat karena air mata. Dia mengingat itu, kata-kata yang terlontar begitu saja dari mulutnya. Merasa bersalah? Tentu, tapi hanya sedikit. Dia memang muak menjalani cinta sepihak.

"Kau pulang, Nak," suara itu membuat Shintaro menolehkan kepalanya.

Senyuman lembut ia tunjukkan. Senyuman yang sebenarnya tidak ingin ia berikan pada siapa pun. Tapi, orang ini, dia benar-benar bisa membuat Shintaro menampilkan senyuman lembutnya. Tentu selain Tetsuya.

"Apa aku sudah membuatmu bangga, Ayah?" tanya Shintaro, lalu kembali memandang rembulan.

Bulan yang biasa bersinar terang, terlihat redup. Masih jam tujuh malam, tapi biasanya bulan tak seredup ini. Seolah memahami apa yang tengah dirasakan Shintaro.

"Apa yang kau katakan? Tanyakan itu pada dirimu sendiri lebih dulu Shintaro. Apa kau sudah bangga pada dirimu sekarang?" tanya sang ayah dengan tatapan sedih.

Tunggu tunggu. Shintaro memang menerima didikan monster, tapi itu bukan salah ayahnya. Tidak ada orangtua di dunia ini yang ingin merusak anaknya sendiri. Setidaknya, itu yang dipercaya oleh kepala keluarga Midorima itu.

"Entahlah, aku hanya ingin merasakannya sekali lagi. Pelukan hangatnya yang... ah, dia polos sekali," gumam Shintaro.

"Benar? Dia polos?" tanya ayahnya.

Shintaro menampilkan senyuman tipisnya. Membayangkan Tetsuya yang tersenyum pilu, dia juga sakit. Tapi hatinya tidak bisa menahan ini semua lagi. Mencintai secara sepihak? Selama lebih dari tiga tahun? Apa kalian gila? Itu menyakitkan. Sungguh.

"Sangat. Dia sangat polos. Bayangkan, bagaimana dia masih bisa tersenyum sementara dia sudah kurusak baik fisik maupun mentalnya?" jelas Shintaro.

Shintaro mendangak, melihat awan yang mulai berkerumun menutupi bulan. Bahkan orang bengis tak kenal ampun sekalipun masih memiliki masa kelamnya sendiri. Iyakan?

"Lalu, anak sepolos itu, kau bangga merusaknya Nak?" tanya sang ayah, menyejajarkan posisinya dengan Shintaro.

Angin berhembus, membelai wajah Shintaro dengan lembut. Mata Shintaro ia pejamkan, berusaha nenghirup udara dingin yang mulai masuk.

"Aku tidak tahu Ayah, apa Ibu bangga padaku? Apa aku... bangga pada diriku sendiri?" gumam Shintaro.

Shintaro menoleh menatap ayahnya dengan mata datarnya. Malam ini, ia tidak memakai kacamatanya. Matanya dihiasi kilatan yang entah apa artinya. Sedih? Bangga? Kesal? Marah? Tidak terima? Tidak ada yang tahu.

"Ayah hanya bisa berharap kau menjadi orang yang akan mengubah dunia ini menjadi lebih baik, Son. Kau tahu kau tidak bisa terus berlarut-larut dalam masa lalumu," katanya kemudian mengacak-acak surai Shintaro.

Shintaro memejamkan matanya, menikmati sentuhan sang ayah. Yang sialnya manis.

Senyuman tipis pada akhirnya mengembang. Bibir Shintaro terbuka, berniat mengatakan sesuatu namun ia urungkan kembali niatnya itu.

"Cinta. Aku sudah pernah mengajarimu Shintaro. Cinta itu tidak bisa kau paksakan. Tumbuh dengan sendirinya, menghangatkan dan tidak memaksa. Jika kau mencintainya, maka berhentilah menyiksanya baik mental maupun fisiknya," kata lelaki yang lebih pendek dari Shintaro.

Shintaro membuka matanya, menoleh melihat sosok yang begitu ia hormati. Ia menariknya, mendekap sosok itu dengan erat. Tangan lelaki itu perlahan naik, mengusap lembut punggung putranya, menunjukkan senyuman tipisnya.

"Jika kau hanya memandang fisiknya, kau tidak akan pernah bisa mengatakan kau mencintainya, Shintaro," bisik sang ayah.

Shintaro mengeratkan dekapannya. Menenggelamkan kepalanya pada bahu sempir lelaki manis yang sialnya adalah ayahnya.

Pain of LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang