17. Euphoria

130 17 9
                                    

17. Euphoria

Seorang gadis berpakaian kebaya hijau toska berjalan anggun menuju sebuah kamar yang ia ketahui tempat di mana mempelai perempuan sedang merias diri. Ya, gadis ini Maya Dianova.

Ia mengetuk pintu kamar itu, dan tidak berselang lama suara seseorang di dalamnya menginterupsi untuk langsung masuk. Mata Maya yang nampak fresh karena sedikit dipoles make up, semakin terlihat berbinar ketika tertuju pada sahabatnya.

"Astaga, Syakila?" Maya melongo takjub melihat Syakila sudah berbalut gaun putih hasil rancangannya. "Cantik." Satu kata yang terucap dari bibir Maya.

"Gaun buatan kamu emang gak biasa. Aku nyaman banget pakainya." Syakila memandang Maya lewat cermin karena gadis itu masih dirias.

Maya tersenyum. "Ah, thanks."

"Ngomong-ngomong, kamu ke sini sama siapa?" tanya Syakila.

Maya mengedikkan bahunya. "Biasa, sama si Sak--eh, tadi aku ke sini sama Rangga juga."

"Waw, aku kagum sama kalian. Udah kepisah berapa tahun, pas ketemu lagi malah makin nempel." Syakila melirik Maya yang saat ini tengah duduk di sampingnya. "Ayo cepet nyusul aku."

Dan si gadis berkebaya hijau toska itu mengernyit. "Nyusul?" beonya.

Syakila merotasikan bola mata. "Ya nyusul. Kapan nikah sama Rangga?"

Maya mengulum senyumnya. "Oh, kalau itu sih, gak tau. Semoga secepatnya."

"Amin," ucap Syakila. "Gak kasian kamu, sama Sakti? Dia bawa cewek gak?"

Maya menggeleng. "Aku heran sama dia. Kenapa ya, dari dulu aku gak pernah lihat dia bawa pacar? Masa dia masih kejerat sama masa lalunya, sih? Setau aku, kata dia si Lingga masih suka chat, pokoknya ngerecokin terus."

"Mantannya namanya Lingga?" Syakila bertanya. Dan Maya pun mengangguk. "Kamu mau tau, alasannya kenapa?"

"Apa?"

"Karena dia udah punya kamu."

Maya mengernyit. "Hah?"

"Iya. Menurut aku sih, cowok kalau punya sahabat cewek, dia udah males cari pacar." Mendengar itu, Maya mengalihkan pandangannya ke jendela yang tertutup tirai putih tipis.

"Masa iya?" Gadis itu masih sulit percaya.

"Gak tau, sih. Tapi, yang aku lihat dari Sakti, dia gak pernah bawa pacar karena kamu aja udah cukup bagi dia," ujar Syakila.

Maya menggumam lirih, "Tapi kan, sahabat sama pacar itu beda."

"Aku mau tanya sama kamu, May. Menurut kamu, gunanya punya pacar itu apa?"

Maya terdiam. Ia mencerna pertanyaan Syakila. "Ya, buat dijadiin pasangan aja. Siapa tau jodoh."

"Pada dasarnya, jodoh udah ditentukan sedari awal. Tapi kalau gini, dari sudut pandang kamu. Misalnya, kamu udah punya temen cowok yang selalu ngertiin kamu, jagain kamu, temenin kamu, apa kamu masih tetap butuh pacar?"

Maya meringis. "Kok kesannya, sahabat sama pacar jadi gak ada bedanya ya?"

"Beda!" Syakila membantah. "Kamu bakal lebih bebas sama sahabat kamu. Kalau pacar, kamu harus jaga hati, jaga sikap ke cowok lain, and then ... kamu akan terkekang sekalipun kamu menolak dikatakan atau merasakan seperti itu."

"Iya, deh. Udah ah, kok malah bicarain Sakti. Telinganya panas, ntar." Maya terkikik geli. Ia kembali mengamati Syakila yang sedang dirias itu. Mungkin tinggal beberapa menit lagi akan selesai. Di sela matanya menjelajah, Maya terbayang suasana ketika ia yang jadi pengantin nanti. "Sya, kamu deg-degan gak?"

Denotasi (End)Where stories live. Discover now