11. Perihal rasa

187 26 15
                                    

11. Perihal rasa

Maya sedang berada di sebuah ruangan, yang ia sebut sebagai tempat khusus menjahit. Ruangan berdominasi warna putih dan maroon itu, nampak membuat wajah Maya yang semula lelah, menjadi semangat kembali.

Ia membawa sebuah dokumen berisi gambar desain yang sudah lolos seleksi. Sebuah gaun pengantin khusus untuk temannya yang bernama Syakila itu, nantinya ia akan jahit sendiri tanpa campur tangan orang lain. Ya, Syakila mengatakan bahwa ia akan menikah satu bulan ke depan. Mendengar kabar itu, Maya tentu sedikit terkejut. Pasalnya, umur Syakila hanya setahun lebih tua darinya. Tapi, mengesampingkan hal itu, kini Maya harus membuat gaun secantik mungkin untuk sahabatnya.

Maya mulai merapikan rambutnya jadi satu agar tidak mengganggunya saat bekerja. Setelah itu, dia mulai menggambar pola pada sebuah kain berwarna putih berukuran kurang lebih 3 meter.

"Wadaw, lebar bener," celetuk Maya menatap frustasi pada kain yang sudah tergelar di lantai itu.

Menghabiskan waktu lebih dari tiga jam, Maya akhirnya menyelesaikan seperempat bagian gaun itu. Modelnya memangnya sederhana, hanya saja, tentu Maya harus bisa membuat gaun ini memiliki khas tersendiri.

Tersenyum, Maya meletakkan tangannya di pinggang. Sedikit pegal karena ia mengurus ini sendirian. Ia melirik jam dinding sekilas. Sudah menunjukan pukul 5 sore. Tidak terasa, sebentar lagi ia bisa pulang.

Gadis itu mengernyit ketika mendengar suara dering ponselnya memenuhi ruangan kerjanya. Tak ingin mengulur waktu, segera saja ia mengambil ponselnya.

Sakti is calling...

"Halo, ass--" Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, di seberang sana Sakti sudah menyela.

"Waalaikumsalam, Dianova orang gila. Jadi gini, berhubung seminggu ini si 'mantan kesayangan' lo itu udah nunjukin cara mainnya di kafe paman gue, dia udah jadi pekerja tetap. So, selangkah lebih maju buat dia."

Maya yang tadinya hendak marah oleh kalimat awal yang Sakti lontarkan, langsung berganti dengan sebuah letupan bahagia dalam dadanya. "Are you seriously?" tanyanya memastikan.

Mendengar suara decakan di seberang sana, Maya ingin tertawa. Namun, sekuat mungkin harus ia tahan.

"Di balik candanya gue, ada keseriusan yang terselip juga, May."

Di tempat ini, Maya mengangguk. Tak bisa dipungkiri bahwa temannya ini memang partner terbaiknya untuk melakukan suatu hal. "Sa, aku gak tahu lagi mau ngelakuin apa buat ngebales semua perbuatan kamu. Yang jelas, thank you very much, for everything."

Setelahnya, hanya suara grusak-grusuk yang terdengar di seberang sana. Maya menengok jam sekali lagi. Mungkin Sakti masih sibuk. "Kamu lagi sibuk? Saaa, where are you?"

"Ha? Halo, May. Iya tadi gue denger kok. Sama-sama Maya. Segalanya buat lo. Ini gak lagi sibuk, kok. Bentar lagi udah mau pulang gue. Lo sendiri gimana?"

Maya tersenyum. Tangannya meraba sekitar untuk mencari sebuah map berisi beberapa desain. Ia memandanginya sejenak. Ada rasa puas tersendiri melihat hasta karyanya. "Aku juga udah selesai, Sa. Mau pulang juga," jawabnya.

"Ahaa! Okey, wait-wait! Tunggu gue jemput lo, jangan ke mana-mana, Ok?"

"Tapi hari ini aku mau ketemu Rangga, Sa. Jadinya aku gak bisa nungguin kamu. Mungkin masih beberapa jam lagi, kan, kamu sampai sini? Makanya aku duluan ke rumah Rangga."

Hening sejenak. Lalu, Sakti pun menjawab, "Oh, hari ini ke rumah Rangga lagi, toh. Oke, deh. Hati-hati di jalan, Mayaa."

Setelah itu, sambungan telepon diputus sepihak oleh Sakti. Maya memandang ponselnya dengan kernyitan. Lalu, ia pun beranjak dari duduknya. Mengemasi beberapa peralatan kerjanya yang sudah tersebar di mana-mana.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now