13. Hujan dan Rasa

151 15 19
                                    

13. Hujan dan rasa

"Pokoknya aku ikut, titik."

Suara tegas yang terdengar jelas tidak bisa diganggu gugat itu memasuki telinga Sakti. Ia bingung, karena jalanan ini memanglah sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan pribadi saja yang lewat. Itu pun tidak banyak. Sejak tahu bahwa mobilnya sedang mogok, Sakti terus menghubungi rekannya yang bekerja di bengkel. Ia pun juga sudah berusaha untuk memperbaiki, tapi sepertinya Dewi Fortuna tidak berpihak kepadanya. Dan, karena ini sudah hampir pukul setengah 11 malam, mungkin akan sangat mustahil mereka merespon cepat.

Saat ini, Sakti sedang bersandar pada sisi badan mobil. Jarinya terus bergerak-gerak di atas benda pipih yang menyalakan sinar searah mengenai wajahnya. Ia berdecak kesal, karena lagi-lagi, tidak ada pertolongan pertama kalau ia tidak segera mencari bengkel di daerah dekat sini. Dan setahu dia, jarak antara tempatnya ini dan bengkel, lumayan agak jauh.

"May ...," panggilnya. Mata Sakti menatap lurus pada Maya yang tengah ikut bersandar di sampingnya. "Lo tunggu di sini, ya? Bentarrr aja. Gue mau cari bengkel deket sini."

Maya menggeleng tegas. "Lebih baik aku ikut sama kamu. Daripada nunggu di sini sendirian. Kamu gak mikir, kalau nanti ada begal atau gimana?"

Mendengarnya, Sakti langsung menggaruk tengkuk. Benar juga. "Tapi ini agak jauh, May. Ntar kalau lo capek gimana? Awas aja kalau minta gendong," ujar Sakti menatap sangsi.

"Terus, kamu sendiri emang bisa cepet nyampe sana?" Maya melipat tangannya di depan dada. "Lagian, ya. Aku mending ikut kamu, jelas ada temennya. Daripada di sini, sendiri, sepi--"

"Teringat kenangan yang seharusnya sudah tak hinggap dalam benak lagi," potong Sakti dengan cengiran lebar. 

Maya berdecak. "Please, hentikan perbucinan kamu di saat keadaan kita kaya gini," cercanya.

Sakti malah tertawa-tawa. Ia memasukkan kedua tangannya pada saku jaket. Menghela napas pelan, ia menoleh ke arah sekitar. "Ya udah, yuk ikut." Sakti menarik pergelangan tangan Maya.

"Yass," pekik Maya kegirangan.

Sakti menghentikan langkahnya. Menatap Maya sebagai bentuk peringatan. "Tapi inget, kalau capek, jangan ngeluh." Lelaki itu menggaruk pangkal hidungnya. "Gue juga bingung, sih, cari cara lain biar lo gak ikut tapi tetap aman."

Maya tersenyum lebar. "Makanya, aku ikut aja. Janji, gak bakal minta gendong kalau capek. Maya, kan kuat," balasnya.

Sakti tersenyum. Ia mengacak pelan puncak kepala gadis itu. "Lo udah gede, tapi mendadak jadi bocil pada waktunya. Man ... ja," katanya.

Maya mengerucut sebal. "Aku manja, ya?" tanyanya memastikan. "Menurut kamu selama ini, kaya gitu?"

Mendadak, Sakti merasa kikuk. Tidak. Ia tadi hanya bercanda. Mana mungkin gadis di depannya ini manja? Mungkin, ada waktunya juga seseorang berubah sifat. Yang serius, sedikit bercanda. Yang dewasa, sedikit manja. Asal semua tidak dipersalahgunakan saja. Seseorang harus bisa meminimalisir ketegangan saraf otaknya. Tidak terlalu monoton dalam satu hal yang ada dalam dirinya. Dengan seperti itu, seseorang menjadi merasa, bahwa hidup itu menyenangkan kalau semua tak berada dalam kekangan. Kadang kala, seseorang justru menyalahkan orang lain terdekatnya. Padahal, bisa jadi justru ia sendiri yang mengekang dirinya.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now