3. Permintaan

400 38 9
                                    

3. Permintaan

Ketika Maya memandang Sakti yang saat ini tengah menyesap kopi di hadapannya, ia langsung teringat dengan apa yang hendak ia ceritakan pada lelaki itu.

Saat ini mereka sedang berada di Kafe Amora. Letaknya tidak jauh dari tempat kerja Maya. Sengaja, Maya mengajak Sakti ke tempat ini hanya sekedar untuk meluangkan waktu sejenak. Terlalu sibuk dengan hari pertamanya kerja, Maya berpikir bahwa Sakti benar-benar kelelahan. Dilihat dari pakaian yang tidak serapi pagi tadi, wajah yang lesu, juga tatapannya yang sayu.

Saking lamanya Maya menatap wajah lelah Sakti, gadis itu tidak sadar kalau Sakti sedang mengamatinya balik. "Ma ... ya," panggil Sakti dengan ragu.

"Sa...," Maya memanggil lelaki itu, bertepatan ketika Sakti memanggilnya.

"Hah?" Sakti bermaksud menanyakan apa tujuan Maya memanggilnya.

Maya mengerjap beberapa saat. "Hah, apa?"

Mengerutkan kening sejenak, Sakti kemudian berucap, "Apa tadi?"

"Apa, apanya?" Maya jelas memasang raut muka polos yang membuat Sakti gemas sendiri.

"Gimana sih, lo? Tadi lo kenapa manggil gue? Malah hah, heh, mulu!" Sakti berseru kesal, membuat gadis di depannya ini menyengir.

Maya masih enggan untuk memulai ceritanya. Ia malah memilih menyeruput teh hangat yang terhidang cantik dalam sebuah cangkir unik. Terlihat ia ingin sekali memanjakan lidahnya dengan manis khas dari teh itu, sampai tak sadar Sakti tengah mendelik menatapnya.

"Giliran gue nanya, malah diduain sama tehnya," Sakti berkomentar. Disela Maya menyeruput minumannya, bibirnya tertarik. Lagi-lagi, Sakti berkomentar, "Untung bener cangkir lo, bisa disenyumin sedeket itu."

Maya menukikkan alisnya, menjauhkan cangkir itu pada bibirnya. "Hah?"

Merotasikan bola mata, Sakti akhirnya memilih diam. Tetapi, melihat wajah Maya yang sedang berada pada hormon 'ingin tahu' tertinggi, ia jadi tak tega mengabaikannya. "Kayanya, lo perlu terapi, deh."

Dengan santai, Maya bertanya, "Kenapa?"

"Otak lo udah masuk lima besar kategori otak terlemot di dunia," jawab Sakti. Jelas ia hanya mengada-ngada.

"Bisa serius dikit gak, sih?" Sakti terperangah karena Maya tiba-tiba menyemprot kalimat yang menunjukan kalau gadis itu sedang marah.

"Kok marah, sih?" Maya hanya diam tak menanggapi. "Orang gue bener, kok. Selama seperkian menit berlalu, gue gak nyambung sama apa yang lo omongin tahu, nggak?! Pas gue nanya balik, malah hah, heh, mulu. Dan sekarang, lo malah marah?! What the hell, dosa apa aku punya teman seperti dirimu, wahai Maya?" Sakti berujar dengan raut memelas.

Maya mencebikkan bibir sekilas. "Aku...," Sakti menebak bahwa Maya sedang sangat ragu untuk melanjutkan kalimatnya.

Seringaian tipis kemudian terulas pada wajah Sakti. "Oh, atau lo mau nyatain perasaan ke gue, ya? Makanya dari tadi gugup, gemeter, ngelamun, lemot gitu. Wah, daebak. Jadi selama ini lo diem-diem suk--" Belum sempat Sakti menyelesaikan kalimatnya, bibirnya sudah dimasuki secara paksa oleh irisan bulat-bulat kentang goreng milik Maya.

Sakti sempat tersedak sebentar. "Anjwir dah lo, May. Gwe hwampir keselek."

"Sekali lagi kamu ngomong gak penting, bukan kentang goreng ini yang masuk. Tapi sepatu aku!" ancam Maya tajam.

Sakti menelan makanan di mulutnya itu dengan susah payah. Setelah selesai, ia meneguk minumannya sendiri. Matanya memandangi Maya yang sedang menyuapkan potongan-potongan kentang goreng itu ke mulutnya sendiri dengan pelan. "May, lo makan kentang goreng mulu, gak suka makanan lain apa gimana?"

Denotasi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang