14. Perjalanan

141 17 29
                                    

14. Perjalanan

Rangga baru saja menyesap kopi di dekat jendela. Keadaannya tentu belum bisa dikatakan bahwa ia selalu baik-baik saja. Namun, dengan cara bersyukur, Rangga bisa merasakan kebahagiaan yang utuh tersemat dalam dirinya. Maya-nya kembali, hanya itu saja. Ia menikmati hembusan angin yang menerobos lewat celah jendela.

Seminggu yang lalu, setelah ia pulang kerja, sebuah kalimat yang masih saja berdenging di telinganya sampai saat ini, membuat Rangga yakin dan harus berusaha bahwa ia pasti bisa. Sebuah kejadian di mana ketika Sakti sedang mengambil mobilnya di parkiran, dan ia hanya sedang berdua bersama Maya, mereka berbincang bahwa ada keyakinan besar dalam diri masing-masing, kalau suatu saat sebuah ikrar janji suci pasti akan Rangga ucapkan di depan penghulu bersama saksi dan juga wali dari gadisnya.

Lagi-lagi, Rangga tersenyum ketika mengingat hal itu. Ia bersyukur dipertemukan dengan gadis seperti Maya sejak mereka masih remaja. Di saat kondisinya sudah seperti ini pun, Maya tetap saja menjadi orang terbaik untuknya. Maya tidak pernah melihat dari segi kekurangan. Tidak pernah sebesit pemikiran pun terlintas dalam benak Rangga, bahwa Maya akan kembali dalam hidupnya setelah berjalan 5 tahun yang lalu, Maya yang akan menerimanya dengan kondisi seperti ini, Maya yang akan selalu men-support-nya di setiap keadaan, dan Maya ... yang tetap menyimpannya dalam hati serta doa.

"Kamu benar-benar istimewa, May. Terima kasih buat semuanya."

Ketika bahunya terasa disentuh seseorang, Rangga pun menoleh walau ke manapun dia menatap, tetap saja gelap yang netranya tangkap.

"Rangga, Maya sudah kasih kabar dia sampai di mana?" Itu Isma yang bertanya.

Rangga menggeleng pelan. "Mungkin Maya sedang menikmati perjalanan, tidur, atau ... gak tau. Nanti pasti kasih kabar lagi, kok. Bunda tenang aja," jawabnya.

Isma tersenyum hangat. "Dia gadis yang baik, Ngga. Jangan sia-siain dia."

"Bun," panggil Rangga, terdengar serius.

"Hm?"

Rangga menggaruk tengkuknya. "Jadi, kalau suatu saat Rangga nikahin Maya, Bunda pasti udah kasih restu, kan?"

Mendengarnya, Isma langsung menunduk. Ia tersenyum getir. Ia tahu, Maya adalah gadis idaman pria mana pun. Apalagi, ia sudah mengenalnya sejak Maya masih menjadi remaja SMA. Tidak bisa dipungkiri, bahwa keinginan terbesarnya menjadikan Maya sebagai menantu sudah menggebu. Tetapi, di samping hal itu, masih banyak sekali pemikiran mengganjal dari Isma sebagai seorang ibu. Dan tanpa sepengetahuan Isma, Rangga pun memikirkan hal yang sama.

"Bunda udah gak seyakin waktu itu. Rangga tahu, apa yang sedang Bunda pikirin sekarang," ujar Rangga. "Kata orang, cinta memang gak memandang segalanya. Mencari pasangan hidup yang tepat juga tak harus memandang kurang-lebihnya. Tapi, Rangga juga tahu, Bun. Memantaskan diri adalah jalan terbaik yang harus dilakukan seseorang agar terlihat serasi waktu bersanding."

***

Maya sedang duduk di sebuah kursi panjang yang letaknya tak jauh dari peron. Benda pipih di tangannya terus memutar lagu-lagu klasik di zaman ia masih SMA. Tersambung dengan sebuah earphone berwarna putih, Maya nampak menikmati alunan nada yang tercipta.

Matanya memandang rel yang belum juga dilintasi ular besi. Dengan dagu yang menopang pada tangan, ia tak jemu-jemu menggerakkan bola matanya mengikuti langkah orang-orang yang berlalu-lalang.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now