19. Jangan pergi!

174 18 7
                                    

19. Jangan pergi!

Dua lelaki itu saling membisu setelah mereka sampai di sebuah kafe. Sakti mengelus rahangnya dengan tatapan frustasi. Sedangkan Rangga duduk dengan santai, menunggu Sakti membuka suara untuk mengatakan alasan ingin bertemu dengannya.

Setelah minuman mereka datang pun, keduanya masih sama-sama terdiam. Rangga melirik jam tangannya sekilas. "Hm ... ada apa?" Ia memilih bertanya lebih dulu.

Sakti menghembuskan napas berat. "Gue sebenarnya gak tau, alasan utama ngajak lo ketemuan gini. Tapi, gue harap lo masih bersedia denger semua omongan gue nanti."

Rangga mengangguk. "Sudah seharusnya saya menghormati kamu."

"Gak. Gue sama lo itu sama aja. Gak usah ngerasa, gue selalu jadi yang terhormat buat lo karena gue udah bantu cari donor mata. Urusan itu, gue cuma jadi perantara takdir baik. Gak usah sungkan sama gue," ujar Sakti tanpa menatap Rangga.

Rangga mengangguk. "Lalu, apa yang ingin kamu katakan."

"Maya." Satu kata itu membuat Rangga mengernyit.

Sakti membenarkan posisi duduknya agar lebih tegak. "Dua hari lagi, kalian udah sah." Sakti tersenyum tipis. "Gue gak nyangka, takdir lo disatuin sama Maya ada di tahun ini."

Rangga tersenyum. "Saya kira, dari dulu Maya udah cari pengganti. Tapi nyatanya enggak. Maya tetap yakin kalau saya masih ada, sekalipun saya menghilang gak ada jejak."

Sakti terkekeh. "Lo harus tau satu hal. Gue jadi temennya dia, sejak pertama kali jadi mahasiswa. Awalnya gue cuma nolongin dia dari kejaran orang gila, terus hari demi hari gue makin deket sama dia." Rangga menegang mendengar penjelasan itu. Pikirannya sudah berkelana ke mana-mana.

Sakti mengangkat sebelah alis, ketika mengetahui perubahan raut muka Rangga. "Sampai hari itu, gue lihat Maya nangis di gazebo. Gue samperin dia. Awalnya dia gak mau cerita, tapi lama-kelamaan dia mau. Dia bilang, lagi kangen sama seseorang." Rangga termangu mendengarnya.

"Setiap hari, gue selalu support dia. Dia juga selalu yakin, kalau lo masih ada dan bakal balik lagi suatu saat nanti. Gue kagum, sama cewek se-optimis dia." Sakti tersenyum. Matanya seperti menerawang jauh, mengingat masa lalunya dulu. "Gue heran, kok bisa ya, dia nungguin orang yang belum jelas dia di mana, dan sampai bertahun-tahun gitu?"

Sakti menoleh, menatap Rangga yang terdiam bak patung. "Dia terlalu sayang sama lo, Ngga. Bahkan, dia gak bisa buka hatinya buat orang lain. Rasa yakinnya, sangat tepat sama takdir yang jatuh pada kalian berdua. Lo beneran balik, dan kalian akan menikah dua hari kedepan."

Rangga menyesap minumannya sebentar. "Sebenarnya, dulu saya gak ingin menikah muda. Tapi kenyataannya, saya sendiri yang memutuskan untuk mempercepat semuanya. Saya ingin memiliki dia seutuhnya."

Hati Sakti berdesir mendengar itu. Waduh, nyesek juga ya, denger ginian. Makin yakin gue. Sakti sontak memejamkan matanya. Ketika akal dan perasaan mulai berperang, maka jalan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah diam. Menenangkan pikiran, mencari titik terang dalam putaran kegelapan, dan memantapkan apa yang sedang berlabuh dalam perasaan.

"Meskipun lo milih nikah muda, gue harap lo udah beneran mateng pikirannya. Nikah bukan tentang soal cinta aja. Gue sebenarnya gak pantes ngomong ginian ke lo, secara gue sendiri belum pernah tau gimana rasanya nikah." Sakti mengusap hidungnya yang gatal.

Lelaki itu kemudian melanjutkan, "Gue harap lo bisa jagain Maya apapun keadaannya. Gue udah jagain dia selama lo gak ada. Gue gak tau, dia sadar apa enggak kalau selama ini gue jagain. Hahaha! Wajar sih, intinya kami teman terbaik."

Rangga mengangguk. "Selama empat tahun saya menghilang, saya berusaha melupakan dia. Tapi semuanya gagal gitu aja. Mungkin, juga udah takdirnya. Saya akan tetap setia sama dia. Apalagi, nanti kalau kami udah jadi suami-istri, dia udah sepenuhnya jadi tanggung jawab saya."

Denotasi (End)Where stories live. Discover now