10. Bersikap

208 29 9
                                    

10. Bersikap

Petang ini, Maya sedang berada di depan minimarket. Ia baru saja membeli sebuah minuman segar untuk menghilangkan dahaganya. Jam kerjanya berakhir lebih awal, sehingga ia bisa memanfaatkan waktu ini untuk bersantai sejenak. Gadis itu berdecak ketika belum melihat tanda-tanda bahwa Sakti keluar dari dalam toko itu.

Dengan sisa-sisa guratan lelah di wajahnya, ia menengok ke dalam lewat pintu kaca. Ia memanyunkan bibir ketika melihat Sakti masih mengantre di depan kasir, sesekali mengobrol ringan dengan perempuan di tempat itu. Beberapa saat kemudian, Sakti keluar membawa dua botol minuman soda.

"Pantesan lama. Bayarnya sambil godain mbak-mbak kasir gitu," gerutu Maya tanpa memandang Sakti terlebih dahulu.

Sakti terkekeh pelan. "Ya, maaf. Habisnya mbak-mbak kasir tadi lucu. Jadi lupa kalau gue lagi ditungguin sama lo di sini." Kemudian, ia beringsut mengambil duduk di kursi sebelah Maya sembari membuka botol. "Gue berasa jadi nyamuk, kemarin malem," ujar Sakti ketika ia sudah meneguk setengah minumannya.

"Makanya jangan kelamaan jomblo," cetus Maya membuat Sakti mencebikkan bibir.

"Terus yang ngomong ini gimana, Mbak?" Lelaki itu mengeluarkan ponselnya. Lalu, jelas terlihat kernyitan dalam pada dahinya ketika mata lelaki itu memandang puluhan notif pesan masuk.

Maya yang semula melihat kendaraan berlalu-lalang di jalan raya, kini teralihkan oleh gelagat aneh lelaki di sampingnya. "Kenapa kamu?"

Sakti memandang Maya sejenak tanpa ekspresi, lalu beralih pada ponselnya. "Gak usah kepo, lo. Ini private area," kata Sakti sembari menyengir.

Maya merotasikan bola mata. "Iya, iya. Lagian gak kepo juga, kok. Entar kalau kamu minat kasih tahu, enggak aku suruh juga udah ngomong sendiri." Sakti tersenyum lebar sambil mengacak puncak kepala Maya.

"Nah, pinter sekali Maya," ucap Sakti. Tak mengindahkan ekspresi kesal Maya. Lelaki itu kembali fokus pada deretan pesan yang baru masuk itu. "May, gue betah di sini. Adem. Pulangnya ntar dulu, ya?" Maya hanya menggumam sebagai jawaban. Sudah lama ia tak merasakan duduk di depan minimarket di malam hari seperti ini sambil memandangi jalan raya yang gemerlap oleh lampu kendaraan.

Hening menyertai mereka beberapa saat. Hingga kemudian, Sakti membuka suara. "May, menurut lo, gue harus apa?"

Maya menoleh, mengangkat sebelah alisnya. "Pertanyaan kamu gak detail. Mana aku bisa jawab," katanya. Sakti menggaruk tengkuknya sambil meringis.

"Jadi gini." Jeda sejenak, lalu ia lanjutkan, "gue lagi deket sama ... cewek." Sontak, Maya membulatkan mata dan hampir saja ia tersedak karena sedang minum.

Berdeham, Maya menetralkan air mukanya. "Sejak kapan?" Maya dibuat bingung ketika Sakti malah mengacak rambutnya frustasi. "Santai, Sa. Santai. Pelan-pelan ngomongnya, kalau seret minum dulu." Sakti tertawa kecil dibuatnya.

"Lebih tepatnya, dulu. Bukan sekarang. Jadi, gue tuh pernah deket sama cewek...," Sakti menggantungkan kalimatnya.

Maya langsung menyela, "Ya, iyalah, kamu deket sama cewek. Kalau sama cowok, ntar dikira belok lagi." Mendengar itu, Sakti langsung memasang muka tembok.

"May," panggilnya.

Maya yang semula sudah abai, kini menoleh lagi. "Hm?"

"Gue cekik lo boleh?" Sakti berkata tanpa ekspresi atau nada apapun. Yang membuatnya Maya terbahak karena sukses membuat sahabatnya itu kesal.

"Enggak, enggak. Lanjut," interupsi Maya.

Sakti mengangguk, lalu mulai bercerita. "Dulu, waktu gue masih SMA, gue pernah deketin cewek. Berhubung gue orangnya rada-rada, gue males sama yang namanya pacaran. Akhirnya, gue milih temenan sama dia. Gue sama dia udah pernah lost contact. Tapi dia balik lagi, katanya dapet nomor gue dari temen. Akhir-akhir ini, dia sering ngehubungin gue."

Denotasi (End)Where stories live. Discover now