7. Teringat

207 33 9
                                    

7. Teringat

Di tengah malam yang sunyi ini, lelaki dengan white cane yang tergenggam erat di tangannya, sedang duduk menghadap ke depan. Tetapi, ke arah manapun ia menatap, tetap saja semuanya gelap. Suara jarum jam yang berbunyi seperti detak jantung itu, menemaninya dalam senyap.

Rangga Dinata. Lelaki yang mempunyai sejuta cita-cita namun tak pernah ia sentuh ujungnya itu, tersenyum tipis di sela tatapan kosongnya. Entah apa yang sedang memutar pada kepalanya, yang jelas ia sedang bahagia. Bahkan, di tengah malam seperti ini, tangannya yang semula memegang white cane, beralih memegangi sebuah celengan berbentuk kotak yang terbuat dari kayu. Mungkin, hasil kumpulan rupiah yang nilainya tak seberapa, sedikit demi sedikit akan bisa dijadikan sebagai penunjang buka usaha.

Derap langkah kaki yang memasuki indra pendengarannya, membuat lelaki itu yakin, pasti seseorang itu adalah bundanya. Wanita paruh baya itu selalu melihat keadaan Rangga setiap malam, memastikan apakah lelaki sudah tertidur atau belum.

"Rangga,"panggilnya ketika sudah berada di dekat Rangga.

Lelaki itu tersenyum. "Ada apa, Bunda?"

"Kenapa kamu belum tidur?" Isma--bunda Rangga itu duduk di tepi ranjang berukuran kecil yang saat ini juga Rangga duduki.

"Rangga belum ngantuk, Bunda." Isma sedikit mengeryit, melihat raut wajah ceria Rangga yang tak seperti biasanya. Alih-alih penasaran, wanita paruh baya itu memilih bertanya padanya.

"Ada suatu hal yang terjadi hari ini?" Isma mengusap lembut wajah Rangga yang nampak berseri.

Lelaki itu menahan senyumnya malu-malu. "Gak ada kok, Bun."

Isma mengangguk. Ia melirik ke arah luar, lewat tirai kamar Rangga yang setengah terbuka. Melihat sang suami sudah tertidur pulas, ia kembali menatap putra tunggalnya. "Maafkan Ayah sama Bunda. Kami tidak bisa membuat semuanya kembali seperti dulu. Maafkan kami, yang menggagalkan semua impian kamu. Dan ... maafkan kami, yang tidak bisa mencari donor mata buat kamu," ujar Isma dengan bahu yang mulai gemetar.

Mendengar isakan dari malaikatnya, Rangga memejamkan mata sejenak. Ia meraba-raba, mencari bahu ibunya dan segera mengeratkan pelukan. "Ayah sama Bunda gak pernah salah sama apa yang menimpa Rangga. Justru Rangga yang minta maaf, karena belum bisa menjadi seseorang seperti apa yang ayah sama bunda harapkan selama ini."

"Semua ada waktunya, Bunda. Rangga yakin, suatu saat semuanya akan membaik. Rangga akan kembali melanjutkan perjalanan raih cita-cita, keluarga kita akan sejahtera, dan...."

Isma yang baru saja mengusap air matanya, menukikkan kedua alisnya. "Dan ... apa?"

Tidak menjawab, Rangga malah tersenyum kikuk. Ia mengusap tengkuknya. "Gak jadi, Bunda." Menghela napas sembari menetralkan ekspresi wajahnya, ia kembali berujar, "takdir memang gak bisa diterka. Tapi, apa yang terjadi sama kita bertiga, memang seperti sebuah plot twist dari Tuhan. Awalnya, semua berjalan sesuai ekspektasi. Rangga diterima di Universitas Amsterdam, kondisi keluarga juga tercukupi secara ekonomi. Lalu, tiba-tiba ... semuanya hilang terbawa angin. Lenyap, tanpa sisa. Seperti barang yang terlempar jatuh begitu saja."

Isma kembali terisak. Ia tak kuasa mengingat semua kisah kelam yang masih terasa pahitnya sampai sekarang. Ia memeluk putranya erat. "Ayah sama Bunda juga tidak pernah mengira, kalau semuanya ikut hancur bersamaan dengan kecelakaan yang merenggut penglihatan kamu. Maafkan kami, yang membuat kamu merasakan pahitnya kehidupan. Dulu, Ayah sama Bunda selalu bisa memberi apa yang kamu mau. Dan sekarang, kamu harus merasakan jerih payah yang amat menyakitkan."

Rangga menyergah, "Bukannya semua orang pasti akan mengalami yang namanya pahitnya kehidupan? Mungkin, ini sudah waktunya bagi Rangga juga untuk ikut merasakannya. Lagipula, banyak di luar sana yang masih belum cukup usia, tapi sudah kelam hari-harinya. Rangga tetap bersyukur, Bunda."

Denotasi (End)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora