2. Tidak sama

675 59 34
                                    

2. Tidak Sama

Maya sedang memotong sayuran segar. Apron berwarna merah muda itu melekat di badannya. Sangat pas. Dengan rambut yang dicepol asal-asalan, ia nampak seperti ibu rumah tangga yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga.

Melihat jam dinding yang terpasang pada tembok ruang makan, ia menghela napas sejenak. Untung saja masih menunjukkan pukul setengah enam. Itu artinya, masih ada waktu untuk merapikan kamarnya yang tadinya sempat ia biarkan berantakan.

Hari ini, ia memasak sup jagung kesukaannya. Dalam waktu 30 menit, semuanya selesai. Maya segera mencuci beberapa alat masak dan mengelap bersih meja dapur. Ia masih ingat pesan mama waktu ia masih SMA. Kalau masak, kebersihan itu hal yang paling utama. Sampai sekarang, kebiasaan itu tetap Maya lakukan. 

"Siap, selesai." Gadis itu tersenyum manis melihat makanannya terhidang rapi di atas meja makan. Saat ini, dia berada di rumah sendirian. Papa dan mama sedang berkunjung ke rumah kakek di desa. Maya sengaja tidak ikut karena masih ada banyak urusan di tempat kerja. Gadis itu segera melepas apron, menutup makanannya, dan melangkah menuju kamar.

Bibirnya cemberut ketika netranya menangkap pemandangan yang selalu berhasil membuatnya sesak seperti ini. Bantal, guling berada tidak pada tempatnya. Selimut tebal yang dia pakai pun sudah seperti sangkar burung yang mengerami telurnya. Acak-acakan.

"Masih single-bed." Ia menggumam frustasi. Tidak bisa ia bayangkan kalau nanti setelah ia bersuami, tidur di ranjang besar, dan semuanya berserakan seperti ini. Ah, itu bukan masalah besar. Lagipula, keadaan kamar Maya seperti ini hanya ketika ia sedang dikejar waktu. Dengan sabar, ia merapikan semuanya satu per satu.

***

"ASTAGFIRULLAH, ARTAJUNA!" Maya memekik ketika ia baru keluar dari kamar setelah berdandan, dan langsung disambut oleh penampakan manusia yang tengah duduk di ruang makan.

"Nama gue Sakti, May," sanggah orang itu.

"Ya, maksud aku Sakti Artajuna," Maya meralat kalimatnya.

Lelaki itu menyengir lebar. Ia melambaikan tangannya sejenak, lalu kembali menatap makanan di depannya penuh nafsu.

"Maaf, May. Tadi gue udah ketuk pintu sama ucap salam, kok. Jadi jangan katain gue gak sopan lagi," kata Sakti sembari terkekeh pelan. "Btw, lo di rumah sendirian, kan?"

"Ada Pak Yanto di pos satpam," ketus Maya. Gadis itu melipat tangannya di depan dada, memandang Sakti dengan sorot tajam pertanda kesal.

"Iya tau. Maksud gue tuh, orangtua lo." Sakti berucap beriringan dengan tangannya yang mulai menyentuh alat makan. Melihat itu, Maya buru-buru mendekatinya dan menepis tangannya keras.

"HEH! Siapa suruh kamu makan?" bentaknya tak terima. "Aku aja yang masak belum nyentuh sedikitpun."

Sakti menghela napas. "Iya, iya. Lo makan duluan, ntar gue nyusul."

"Kaya orang gak pernah dimasakin aja kamu," ujar Maya.

Sakti tertawa lalu membalas, "Emang enggak pernah, May. Soalnya belum punya istri." Sejenak ia berhenti kemudian melanjutkan, "Kalau mau dimasakin nyokap, mah, masa gue harus balik ke Jogja, sih?"

Maya manggut-manggut. "Oh iya. Aku lupa kamu anak perantauan. Jadi gak bisa bayangin kalo aku jadi kamu." Gadis itu menyangga dagunya dengan tangan.

Sakti yang hendak mengambil piring pun, langsung menghentikan kegiatannya. "Kenapa juga lo harus bayangin jadi gue?"

"Soalnya aku takut mau ke mana-mana. Harus ada temannya dulu baru berani keluar. Lah kamu, udah hampir 5 tahun, kan, ada di Jakarta?"

Sakti mengangguk sebagai jawaban. Mengenal Maya sejak masuk bangku kuliah, berhasil membuatnya akrab dengan gadis itu. Saking akrabnya, bahkan dengan keluarga Maya juga, Sakti pun sudah diberi izin menganggap rumah orangtua Maya adalah rumahnya juga. Hal inilah yang membuatnya santai masuk-masuk langsung duduk di ruang makan dan hendak melahap masakan Maya.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now