15. Yogyakarta

138 16 33
                                    

15. Yogyakarta

Suara kereta api, menambah melodi yang membuat hati terasa syahdu. Maya dan Sakti baru saja keluar dari gerbong. Gadis itu nampak menguap berkali-kali dengan tatapan matanya yang mulai sayu. Mata gadis itu memerah. Anak rambutnya berantakan. Sakti mencebikkan bibirnya melihat penampilan Maya.

"Udah gue bilang, kan? Jakarta-Jogja itu gak deket. Ngeyel sih, minta ikut," katanya. Maya hanya menggumam. Gadis itu menenteng kardus saja. Sedangkan Sakti, tas ransel dan sebuah tas besar milik Maya. Keduanya berjalan beriringan untuk mencari taksi.

Suasana Stasiun Tugu di malam hari sangat menyenangkan. Lampu-lampu di jalanan raya nampak berkelip dari sini. Maya diam-diam tersenyum, mengingat seorang Sakti--sahabatnya itu dilahirkan di kota bersejarah ini.

"May," panggil Sakti tanpa mengalihkan tatapannya ke jalan raya.

"Hm?"

"Kirain tidur." Sakti lalu menarik tangan Maya agar gadis itu mengikutinya. "Lo ngantuk banget ya?" Pertanyaan Sakti membuat Maya mengucek matanya.

Maya menggeleng. "Harusnya enggak sih, Sa. Tapi gak tau kenapa, ini mata lengket banget."

"Yee, itu mah namanya ngantuk." Sakti terus menuntun Maya seperti anak kecil. Setelah ia sampai di sebuah kursi panjang pinggir jalan, lelaki itu menaruh semua barang bawaannya. "Istirahat dulu, May. Kayanya lo capek banget." Maya hanya mengangguk pasrah.

Kini, keduanya sama-sama terdiam di tempat itu. Di bawah penerangan lampu berwarna orange, Maya berusaha membuka matanya yang terasa berat. "Gak nyangka ya, udah di Jogja aja," ujar Maya.

Kemudian gadis itu beranjak, hingga membuat Sakti bertanya, "Heh, mau kemana lo?"

"Aku pengin ke toilet." Maya celingukan memandang segala arah. "Sa, anterin!" pintanya sembari menyengir.

"Ya udah. Ayo!" Sakti kembali menjinjing tas besar Maya. Benar-benar merepotkan! Usai mereka berjalan kurang lebih 50 meter dari tempat tadi, kini Maya sudah menemukan toilet.

Tanpa berucap sepatah kata, Maya langsung nyelonong pergi. Sakti geleng-geleng kepala melihat tingkah gadis itu. Kemudian, sampai di perbelokan menuju toilet wanita, Maya menyembulkan kepalanya dari bilik dinding.

Sakti menaikkan sebelah alisnya, seolah bertanya ada apa lagi?

Maya menyengir. "Jangan ke mana-mana! Awas kamu tinggal!" katanya.

Sakti meraup muka. "Astaga, May. Kalo gue ninggalin lo di sini, terus lo ilang. Ya kena gampar bapak lo kali, ah!" Sakti menggumam. Jelas saja Maya tidak tahu, karena setelah mengancam tadi, Maya langsung melesat pergi.

Sakti membuka ponselnya. Menggulir beberapa pesan chat yang masuk. Sebagian besar berasal dari temannya kerja. Lalu, sebuah nama kontak menjadi pusat perhatiannya.

Bang Bara
Kamu bisa perpanjang cuti kalau masih pengin di Jogja.

Sakti menghela napas membacanya. Bara sangat baik padanya, hingga membuat kebaikan itu menjadi sebuah alasan kenapa Sakti merasa canggung. Sakti hanya membalas sekenanya. Melihat jam masih menunjukkan pukul 22.30, ia berpikir keluarganya pasti sudah menunggu kedatangannya.

Sakti menghirup udara banyak-banyak. Ia merindukan kota bersejarah ini. Dan, hari ini sampai satu pekan ke depan, ia akan mengukir cerita untuk kali pertama bersama Maya--sahabatnya.

Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya si gadis kembali juga. Maya nampak lebih fresh. Mungkin, gadis itu baru mencuci muka. Setelahnya, Sakti pun berniat melakukan hal yang sama.

Denotasi (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang