18. Epiphany

131 18 24
                                    

18. Epiphany

Ketika malam menghadirkan ribuan bintang, netra yang tak jemu memandang menghantarkan perasaan pada letupan bisu sebuah kerinduan. Sakti terdiam di sudut ruangan kamarnya. Di samping jendela yang terbuka lebar, ia membiarkan angin dingin itu menyentuh kulitnya.

Sudah semestinya, manusia butuh waktu sendiri dalam sunyi. Mencoba memahami dan memberi ruang untuk diri pribadi. Kemarin, setelah ayah dan ibunya video call, rasanya ia ingin segera kembali ke Jogja lagi. Sakti teramat betah di kota ini, hanya untuk pekerjaan dan sahabatnya. Hingga ketika pekerjaan sudah mulai terasa biasa saja, dan sahabat yang mulai berbeda sikapnya karena berbahagia dengan kekasihnya, maka di sinilah sekarang Sakti berada. Sendiri dalam sepi, bergelut dengan akal dan perasaan, menyadari bahwa tak selamanya yang menyenangkan akan tetap menyenangkan.

"Ketika usia kita memasuki fase dewasa, maka satu per satu teman akan hilang." Sakti meraup mukanya. "Anjim, bener juga."

Ia menyesap kopinya yang sedari tadi diletakkan pada jendela. "Gak betah gue kalau lama-lama kaya gini," ujar lelaki itu dengan raut lesu.

"Harusnya gue main sama Maya. Tapi Maya udah sibuk sama Rangga." Sakti berdecak. "Miris banget nasib gue. Mana pacar kagak ada." Ia kemudian membuka ponselnya. Men-scroll akun sosial media yang telah lama ia anggurkan.

Lelaki itu membulatkan mata melihat beberapa postingan yang menampakkan fotonya bersama seorang gadis.

@Lingga.frnst
Pada dasarnya, sesuatu yang telah hilang, sulit sekali untuk didapatkan kembali. Aku pernah menggenggammu terlalu erat, hingga aku sendiri yang memilih melepasnya. Dan sekarang, aku merindukanmu, Sakti.

Tenggorokan Sakti terasa kering membacanya. Ia benar-benar muak dengan masa lalu yang tak pernah membebaskannya. Gadis itu masih saja mengganggu, walau di sebuah postingan ini tidak menandai akunnya. Tanpa berpikir banyak, Sakti langsung memblokir semua akun Lingga. Ia ingin berdamai, tapi tidak dengan cara seperti ini.

"Telfon Maya, ah," ucapnya sembari mencari nama kontak gadis itu. Lalu, Sakti terdiam beberapa saat. "Lagi sama Rangga gak, ya?"

"Ah bodo amat." Ia menyeringai mendengar telepon sudah tersambung. "Lagi ngapain? Kok grusa-grusu suaranya?"

"Assalamualaikum," ucap Maya di seberang sana.

Sakti menyengir. "Oh iya lupa. Waalaikumsalam. Lo lagi sama siapa?"

"Lagi sendiri di kamar. Oh iya, Sa. Aku mau kasih tau kamu, kalau malem ini Rangga mau nemuin orang tua aku."

Sakti menegang beberapa detik. Pikirannya mulai berkelana ke mana-mana. "Jangan bilang kalau ...." Lelaki ini menghentikan kalimatnya.

"Iya. Dugaan kamu benar. Rangga mau seriusin aku, hehehe."

Bibir Sakti terkatup rapat mendengarnya. Ia merasa, waktu benar-benar berputar dua kali lebih cepat. Dan, apa yang beberapa hari lalu mengganggu fokusnya, kini terjawabkan juga. "Berarti, secepatnya ... lo bakal nikah, dong?" Bahkan, ia tiba-tiba merasa kelu untuk menyebut kata itu.

"Nikahnya gak tau kapan. Pokoknya, yang jelas malem ini Rangga mau ke sini, nemuin Papa."

Sakti menghela napas berat. "Ya udah, semoga bokap lo kasih restu." Ia melirik jam dinding sekilas. "Masih jam tujuh, Rangga kapan ke sana?"

"Habis isya' kayanya. Kenapa?"

Sakti mengangguk. "Oh gak apa-apa. By the way, gue malem ini juga ada meeting sama kak Bara."

Maya terkekeh di sana. "Ya udah, semangat kerjanya. Aku tutup dulu ya? Mama udah suruh aku siap-siap."

"Ok." Sakti langsung memutuskan panggilan sepihak. Lelaki itu menyambar jaket hitam dan mengambil kunci mobilnya. Hampir saja ia lupa bahwa malam ini Bara mengajaknya bertemu.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now