20. Purnama Terakhir

192 19 25
                                    

20. Purnama Terakhir

Maya menunduk di hadapan Rangga. Mereka sedang berada di taman. Rangga masih setia menunggu gadisnya membuka suara. Hari sudah mulai sore. Setelah beberapa menit tadi air langit turun ke bumi, kini lembayung menghiasi cakrawala.

"Aku, mau jalan sama Sakti nanti malem." Maya berkata pelan. "Boleh, 'kan?"

Rangga menghela napas. "Gak ada alasan yang bikin aku gak ngizinin kamu." Rangga mengalihkan pandangannya. "Apa kamu masih ingin bebas?"

Maya mengernyit. "Apa maksud kamu?"

"Aku bisa tunda pernikahan kita, kalau kamu belum siap," ujar Rangga membuat Maya menggeleng cepat.

"Jangan gila! Tinggal beberapa jam lagi kita menikah. Kenapa kamu tiba-tiba berpikiran kaya gitu?"

"Aku cuma takut, kamu memaksa untuk siap. Sedangkan diri kamu, masih ingin bebas." Rangga menatap mata gadis itu. "Kamu dari tadi kelihatan sedih. Ada apa?"

Maya menunduk lagi. "Sakti mau balik ke Jogja."

"Kamu gak rela?" Rangga menembak pertanyaan yang membuat Maya mengatupkan bibirnya.

Gadis itu memainkan ujung kardigannya. "Aku gak terbiasa tanpa dia. Sakti selalu ada kapanpun aku butuh. Terus, tadi dia tiba-tiba bilang mau menetap di Jogja. Lima tahun bukan waktu yang sebentar. Aku sampai lupa kalau Sakti itu cuma anak rantau." Mendengar paparan Maya, Rangga memejamkan mata sejenak.

"Tadi dia udah bilang juga sama aku." Rangga menarik dagu Maya agar menatap ke arahnya. "Jujur sama aku, May. Apa kamu punya perasaan lebih dari sekedar sahabat sama dia?"

Maya nyaris menepis tangan Rangga yang mash memegang dagunya. "Kamu ngomong apa, sih?" Mata gadis itu melotot tajam. "Kamu masih raguin perasaan aku?"

Rangga memundurkan badannya dan memilih bersandar pada kursi taman. "Gak gitu maksud aku."

Maya mengangguk. Ia tidak boleh tersulut emosi. "Aku paham apa maksud kamu, Ngga. Sakti ngajak aku jalan, katanya sebagai permintaan terakhir. Karena setelah itu, aku pasti udah jadi milik kamu seutuhnya. Dan Sakti, berada di Jogja. Aku pikir, satu malam ini akan menjadi penutup kisah persahabatan kami. Persahabatan dalam artian, aku masih bebas main sama dia."

Rangga tersenyum. Ia mengusap bahu Maya. "Aku gak apa-apa kamu jalan sama dia."

Maya tersenyum. "Beneran?" Rangga mengangguk. "Makasih," ucap Maya. Setelahnya, mereka berpisah. Rangga pulang ke rumahnya, dan Maya bersiap untuk menemui Sakti.

***

Seperti janjinya lewat pesan whatsapp tadi, Sakti menunggu Maya di sebuah tongkrongan tak jauh dari rumah gadis itu. Di sini, Sakti melihat banyak pedagang kaki lima. Sembari menunggu Maya datang, ia memilih membeli cilok bakar.

"Bang, ciloknya seporsi gak pakai sambel," ujar lelaki itu yang seketika langsung dibalas acungan jempol oleh abang tukang cilok.

"Oke siap, Mas. Mau pakai plastik apa cup?"

"Plastik aja lah, Bang. Yang simple," jawab Sakti sekenanya.

Sakti kemudian mengambil kursi milik penjual itu. Ia menopangkan kaki kanannya di atas kaki kiri. Matanya menyapu seluruh penjuru tempat di hadapannya. Besok, ia benar-benar pulang ke Jogja. Ia pasti akan merindukan tempat ini. Kota yang sudah seperti tempat asalnya sendiri.

Sehari setelah Maya memberitahunya, bahwa ia akan melangsungkan pernikahan dengan Rangga dua minggu mendatang, Sakti ditelfon orang tuanya. Mereka menyarankan lelaki itu untuk membangun bisnis kuliner di sana. Orang tua Sakti tentu tidak ingin, putra sulungnya itu terlalu lama menghabiskan waktu menjadi anak rantau. Maka, mereka berinisiatif meminta Sakti untuk kembali.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now