8. Nikah?

273 37 20
                                    

8. Nikah?

Maya terbangun dengan keadaan tubuhnya yang ringan. Seperti bebannya baru saja terangkat terbawa angin dalam alam mimpi. Seperti biasa, ia segera membersihkan diri. Tidak seperti waktu itu, karena sekarang mamanya sudah di rumah, ia memilih bersantai di kamar. Bukannya tidak ingin membantu, hanya saja pasti Maria menolak karena melihat penampilan Maya yang sudah siap berangkat kerja seperti ini.

Melewati beberapa bilik ruangan, ia akhirnya sampai di ruang makan. "Mama," sapa Maya kepada Maria. Wanita tengah baya itu tersenyum, lantas segera memberi segelas susu pada putrinya.

"Gimana kerjaan kamu?" Maria bertanya tanpa melepas kegiatannya yang masih menyiapkan sarapan.

"Semua lancar. Ya, walaupun sempet down kalau numpuk," jawab Maya sembari menyengir.

"Jangan terlalu memaksakan otak ketika sudah tak sanggup. Istirahat sejenak lebih bagus, daripada terus berupaya agar semuanya selesai sebelum deadline." Maya hanya mengangguk saja, sebab, ia lebih suka mengerjakan semuanya sampai benar-benar selesai, baru ia akan istirahat dengan tenang.

Obrolan mereka lebih panjang lagi, ketika Bama baru saja keluar dari kamarnya dan sudah mengenakan pakaian kerja. "Tumben udah bangun, May," ujar Bama meledek putrinya.

Maya mendengus. "Emang Maya kaya Papa?" Bama tertawa melihat reaksi Maya. Kemudian, topik pembicaraan mereka semakin berlanjut, hingga sebuah pertanyaan mampu membuat selera makan Maya hilang.

"Kapan nikah, May?" Itu Bama yang bertanya. Kemudian ia tersenyum lebar. "Putri Papa sudah dewasa. Boleh, kok, kalau mau nikah sekarang," imbuhnya.

Maya sudah tak nafsu lagi melanjutkan sarapannya, tetapi ia tertarik untuk membalas pertanyaan orangtuanya. "Nikah itu enak gak, Pa, Ma?" Matanya yang bening menatap polos ke arah pasutri di depannya.

Maria pun menjawab, "Tergantung, May. Kalau kamu sudah siap lahir batin, semua akan berjalan mulus. Gak ada lagi rasa takut buat ngehadapin masalah bagi waktu antara rumah, suami, sama karir."

"Ya ... menurut Papa, sih, secara kamu itu perempuan, sudah layak di usia ini jadi istri." Bama kemudian menyesap kopinya.

Mendengar itu, Maria menyanggah pendapat suaminya. "Mama sebenarnya boleh-boleh aja kalau kamu mau jadi istri di usia muda ini. Tapi, menurut Mama jangan tergesa-gesa. Baru beberapa bulan, kan, kamu mulai bergelut di dunia kerja? Nah, menurut Mama, sayang kalau nantinya urusan karir kamu harus terhambat karena bercampur urusan rumah tangga."

Maya mengangguk mengerti. "Bentar lagi, temennya Maya mau nikah," katanya membuat Bama tersenyum lebar.

"Nah, gimana? Pengin segera nikah juga, kan? Menurut Papa sih, gak apa-apa kamu nikah dalam waktu dekat. Secara, yang Papa pikir itu, hakikatnya para istri akan mengikuti semua perintah suami. Suamimu nanti sudah mengatur apa yang akan kamu butuhkan, May."

Maya menggelengkan kepala pelan. "Salah, Pa. Menurut Maya, walaupun pada akhirnya yang namanya 'istri' akan ngikut suami, bukan berarti istri cuma 'iyain' doang pas diajak musyawarah rumah tangga. Istri yang baik juga harus ikut mikir, cara ngatur strategi supaya rumah tangganya gak flat, terus langsung down pas ketimpa masalah sedikit."

Maya kemudian melanjutkan, "dan menurut Maya, jadi istri itu juga harus bisa berpikir seluas pikiran suami. Jadi, pas nanti si suami tanya pendapat, waktu si suami menceritakan tentang masalah bisnis, atau apa, istri gak cuma bilang 'yang sabar ya, Mas. Semoga semuanya membaik. Aku cuma bisa bantu doa'."

Maria dan Bama terbengong-bengong melihat Maya terus berbicara tanpa sela, dan penuh ketegasan. "Terus-terus?" Maria akhirnya penasaran dengan pemikiran Maya, mengenai urusan 'hakikat menjadi istri yang baik'.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now