12. Kriteria

157 22 17
                                    

12. Kriteria

Sakti berjalan dengan santai melewati beberapa pasang mata yang masih saja menatapnya. Siapa yang tidak merasa heran, kalau seorang lelaki yang baru saja memasuki kafe, tiba-tiba berseru seperti itu. Apalagi, tadi suasananya tengah sedikit hening. Hanya permainan piano Rangga yang mengisi ruangan.

Maya menggertakkan giginya. Ia merasa malu, karena yang Sakti panggil tadi adalah dirinya. Bahkan, beberapa fokus mata orang-orang ada yang beralih kepadanya.

Sakti tampak tak acuh mendapat tatapan seperti itu. Ia tetap melangkah menuju sudut ruangan dengan panggung kecil yang dibuat pemusik menyalurkan karyanya.

"Lo udah lama di sini?" tanya Sakti, hanya sekedar basa-basi. Maya memutar bola matanya tanpa berniat menjawab. Sakti pun tertawa melihatnya. "Kualat loh, ditanya malah pura-pura bisu kaya gini," ujar Sakti sembari mengacak puncak kepala Maya.

Maya akhirnya menuruti. "Iya," jawabnya dengan malas.

Kemudian, seseorang di samping Maya yang tak lain adalah Rangga, bertanya kepada Sakti. "Apa ini Sakti, May?"

"Iya, Ngga. Dia Sakti," jawab Maya.

Rangga nampak tersenyum. "Saya gak tahu lagi, caranya membalas kebaikan kamu. Yang jelas, terima kasih buat apapun yang sudah kamu lakukan buat saya," kata Rangga. Sakti tersenyum tipis. Ia maju dan menepuk pelan bahu Rangga.

"Santai, Bro. Hidup akan lebih berharga kalau berguna bagi orang lain," ujar Sakti. Lelaki itu kemudian memandang ke segala arah. Berhubung di atas panggung mini ini hanya ada dua kursi, ia pun berniat mencari kursi lain.

Maya curiga melihat seringaian Sakti keluar ketika mata lelaki itu melihat sebuah kursi kosong di antara barisan meja lainnya. "Loh, loh. Kamu mau ngapain? Jangan bilang mau ambil kursi itu," ujar Maya, menatap Sakti dengan sangsi.

Sakti hanya menyengir. "Kan, masih kosong, May. Daripada ditempati setan, mending dipakai sama orang tampan."

"Jangan, Sa! Kamu bisa ambil kursi lain. Noh, di sana ada." Maya menunjuk sebuah kursi plastik yang ada di pojok ruangan sebelah timur.

Sakti berdecak. "Yaelah, May! Itu kan kursinya gak bikin gue nyaman. Mending gue ambil yang bagus aja noh." Lelaki itu mengangkat dagunya, untuk menunjuk sebuah kursi yang seharusnya diduduki pengunjung kafe.

"Kamu mau duduk aja repot ya?!" Maya mendengus kesal. Lalu membiarkan Sakti melakukan apa yang lelaki itu inginkan.

"Nah, kalau gini kan, nyaman." Sakti menaruh kursinya di antara Maya dan Rangga.

Hal itu membuat Maya langsung mencegahnya. "Loh, kamu mau ngapain di sini?"

Sakti menyengir sekali lagi. "Mau duduk di samping Maya, lah."

Maya melotot. "Eh, enggak-enggak. Aku udah nyaman, ya. Jangan main geser-geser seenaknya. Di sini, kan bisa." Maya menunjuk sebelah kirinya. Mendengus, Sakti pun mengambil kursinya dan menaruh di samping kiri Maya. Hal ini membuat Maya sekarang diapit oleh dua lelaki.

"Oh ya, Bro. Tadi lo udah ketemu uncle gue, kan?" tanya Sakti setelah ia mengubah posisi duduknya santai.

"Gak usah basa-basi. Aku tahu, kamu udah tahu jawabannya sebelum Rangga jawab," cetus Maya, membuat Rangga yang hendak menjawab pun, mengurungkan niatnya.

Denotasi (End)Where stories live. Discover now