1. Hari Pertama

255 26 19
                                    

Aku benci hari pertama. Bukan secara keseluruhan, sih. Maksudku, ada bagian-bagian yang menarik juga dari hari pertama---walau tidak banyak. Kau bisa berharap teman-temanmu nantinya jauh lebih baik dari sekolah sebelumnya. Buruknya, ekspetasi itu bisa sangat mudah hancur apabila ternyata teman-teman barumu tidak lebih baik. Apalagi kalau jauh lebih buruk, mentalmu akan jatuh ke dasar Palung Mariana.

Kuharap mentalku tidak jatuh ke sana. Oh, Tuhan, sekali-sekali buatlah diriku melayang ke langit ke tujuh. Berilah teman-teman yang baik!

Saat ini, aku duduk di bangku paling kiri urutan nomor tiga, sesekali menyeka keringat yang perlahan-lahan jatuh dari pelipis. Sepertinya aku satu-satunya orang yang berkeringat di tempat ini. Orang-orang sekitarku kelihatan sangat gampang berbaur. Mereka sudah berjabat tangan dengan mudahnya, lalu bercakap-cakap seakan-akan mereka adalah sahabat di kehidupan sebelumnya.

Aku ingin seperti itu. Cuma percayalah, mencoba memulai berkenalan sambil memikul kecemasan tersendiri yang terus bergelayut di sekujur tubuh itu tidak mudah.

Kami baru saja naik sekitar sepuluh menit yang lalu. Kemarin hari terakhir masa orientasi yang super membosankan---Ibu pernah bercerita kalau masa orientasi itu penuh dengan senioritas, tapi yang kudapat tadi cuma ceramah yang itu-itu saja. Hari ini jadwal kami untuk berkenalan dengan kelas, termasuk wali dan teman sekelas.

Selain tentang teman sekelas, aku juga sedikit takut dengan wali kelas baruku. Trauma dengan wali kelas terdahulu yang mulutnya sepedas jalapeno.

"Selamat pagi anak-anak ...." Yang dibicarakan datang. Wali kelasku kali ini berbatang, punya jambang dan kumis tipis, juga kaca mata berbingkai segiempat. Tubuhnya tinggi tegap, dengan kulit cerah. Tidak gemuk tidak kerempeng. Kasihan bapak ini, pasti nanti bakal diserbu cewek-cewek kegenitan, nasib punya wajah lumayan.

"Saya wali kelas kalian, bisa dipanggil Pak Harianto, dan ...."

Aku mulai tidak fokus, sebentar lagi momok menakutkan yang menggelayuti benakku akan keluar.

Setiap orang punya hal yang ditakuti, bukan? Biasanya hal yang ditakuti muncul dari pengalaman buruk di situasi sebelumnya, sehingga kau mencoba menghindari pengalaman buruk tersebut. Tanpa sadar hal itu menggerogotimu perlahan-lahan, sampai-sampai kau memikirkannya sepanjang waktu, tanpa ampun, dan itu menjadi beban 24 jam.

"Baik, bapak coba absen, ya. Tolong sekalian berdiri."

Ini dia. Tiba-tiba jantungku dugem.

"Allodhy Crystaliya."

Astaga, namanya bagus. Mendadak aku tidak memerhatikan sekitar, hanya fokus pada benak sendiri dan nama-nama yang keluar dari mulut Pak Harianto. Banyak nama berseliweran, dan keren-keren semua.

"Bebzie Queenzie Mackenzie."

"Elizza Adibash."

"Ezekyle Allavest Chyaton."

Aku makin pusing. Nama-nama mereka nggak ada yang jelek. Lama aku terpuruk dalam lamunan, seakan ragaku hangus terbakar. Absen sudah sampai ke abjad R. sebentar lagi S, yang mana adalah namaku.

"Siti Ju ... eh, kok ada nama tetangga saya?"

Kalau ini di anime, pasti ada efek di mana kepalaku tersambar petir.

Di SD, namaku disama-samakan dengan nenek-nenek. SMP, disamakan dengan janda. Di SMA, disamakan dengan tetangga si bapak yang bisa jadi seorang nenek-nenek janda!

Inilah yang menggelayutiku. Terlahir dengan nama aneh pemberian Ibu, nama yang benar-benar jadul. Sungguh mencolok di antara teman-teman sebayaku yang dinamai dengan nama keren oleh ibu mereka. Suatu hari, aku sempat bertanya diam-diam ke Tante Dhia yang ikut menamai anaknya dengan nama keren. Katanya begini kira-kira ....

"Tante terinspirasi dari nama-nama cowok ganteng dan cewek cantik di Wattpad!"

Setelah itu aku langsung mencari aplikasi yang disebut-sebut Tante Dhia. Ternyata cukup ramai, aku saling follow-an dengan akun milik Tante Dhia. Saat kutanya Ibu, apa akun wattpadnya, beliau bilang tidak pernah main.

Pantas saja namaku berbeda. Pertanyaan yang kutanyakan berubah dari "Ayah mengapa aku berbeda?" menjadi "Ayah mengapa ibuku berbeda?"

Kembali ke realita, Pak Harianto kembali mengajakku bicara.

"Iya, Siti. Tetangga saya. Kamu anaknya Rumini, kan?"

Dipikir-pikir, ternyata Pak Harianto memang salah satu dari bapak-bapak muda yang sering diajak nongkrong sama Ayah. Jadi dia tidak sedang mengejek tadi.

***

Name ShammingWhere stories live. Discover now