16. Persepsi

48 10 5
                                    

Habis menghabiskan seporsi Kaepci aku kembali mendekam di kamar, merenungi saran Kak Ben. Aku mengerti mengenai konsep jangan terlalu pedulikan orang yang menghina, dan dekati orang-orang yang menghargai. Masalahnya, aku selalu punya pemikiran bahwa semua orang selalu mencemooh namaku, meski dalam hati. Ketika lewat dan ditatap orang yang tahu namaku, pasti aku langsung tertekan. 

Meski tak suka, aku selalu mencoba menebak pikiran-pikiran orang setiap bengong. Apa guru-guru saat membuat absen menertawakan namaku? Apakah barista kafe yang kudatangi terkikik dalam hati saat mencatat nama Siti? Apa saat ibu memperkenalkan namaku ke om dan tante, mereka diam-diam menggunjing di belakang?

Saran Kak Ben tidak terlalu berefek bagiku, yang lebih banyak ditertawakan diam-diam daripada dihargai. Bahkan teman-temanku dulu tak pernah sekali pun menyemangati seperti ini, "Tidak apa punya nama begitu, aku tetap jadi temanmu! Semangat, yah!" Aku jadi tak percaya ada yang menghargai.

"Siti, Kak Ben pulang dulu, ya!" serunya dari balik pintu.

"Oke!"

Dan aku sendirian sekarang. Biasanya di saat-saat seperti ini aku mengerjakan PR dengan semangat, ingin cepat-cepat agar bisa segera main Avatar. Tapi sekarang, aku tak punya semangat lagi untuk mengerjakan tugas cepat-cepat seperti biasanya. Bisa dikerjakan nanti saja, menjelang sore, saat aku sudah baikan.

Nggak ada kerjaan saat ini, aku membuka ponsel yang sedari sampai rumah ku-charge, karena di akhir jam pelajaran baterainya sudah sekarat. Mematikan airplane mode yang kugunakan agar menghemat baterai, aku mendapati banyak missed call dari Kyle. Déjà vu. Karena masih kesal, kuabaikan saja, kembali kunyalakan airplane mode dan mulai tidur siang. Hujan, sih, suasananya enak untuk tidur.

***

"Siti, Siti, bangun, Nak." Seseorang mengguncang bahuku. Masih setengah sadar, aku mengucek-ngucek mata sembari berusaha bangun. "Kok malah ketiduran di sini?"

"Hah?" Mataku masih berat untuk dibuka. "Emang siapa?"

"Tahu, tuh, ibu mana kenal. Sana, turun, kasihan ibu lihat dia kehujanan nunggu di depan. Basah banget baju dia."

"Oke, aku ke bawah ...."

Masih setengah mengantuk, aku penasaran siapa yang datang saat hujan-hujan begini. Di ruang tamu, aku menemukan teman yang katanya mencariku, dan aku terkejut---sebenarnya siapa pun yang datang aku pasti terkejut, dari mana coba mereka tahu alamatku, jangan-jangan ada yang stalker selama ini.

"Ha-haichipkurit!" Dia bersin. "Ha-hai Siti."

"Kyle?" Rambutnya yang gondrong basah seluruhnya karena kehujanan, jaket biru yang dikenakannya pun tak luput dari serangan air hujan. Bukannya memberikan handuk atau air hangat, aku malah bertanya dengan sinis, "Dari mana kau tahu rumahku? Rasanya aku belum pernah memberitahu."

"Ha-haichipkurit!" Daerah sekitar hidungnya kemerahan, sedikit lagi menyentuh pipi biar seperti anak gadis saat digoda laki-laki. "Aku tanya jalan tempat tinggalmu di sekretaris kelas. Kemudian, kutanya beberapa warga, di mana rumah Siti Jubaedah."

"Kamu tanya di mana rumah Siti Jubaedah?" Aku melotot. Dia mengangguk. "Ah ... Dasar!" Kehilangan kata-kata, kutinggalkan dia di bawah sendirian, aku kembali menaiki tangga dan mengurung diri di kamar. 

Aku tak kuat membayangkan pikiran tetangga ketika nama Siti Jubaedah yang kampungan itu disebut. Mungkinkah mereka terkikik dahulu baru menjawab? Apakah beberapa dari mereka  yang belum tahu justru terkejut bahwa ada anak remaja yang namanya begitu kampungan, seperti seorang nenek-nenek?

Sejak Jhazone menyadarkanku degan caciannya, aku mulai sering berpikir seperti ini. Salah satu alasanku diam di rumah terus dan jarang bermain bersama tetangga, adalah karena takut dibicarakan orang lain, mengenai namaku yang super aneh ini. Sudah kucoba sebisa mungkin agar eksistensiku seakan-akan hilang dari kehidupan bertetangga, kini Kyle malah mengangkatnya lagi.

Sudahlah, aku ingin jadi vas bunga saja.

Name ShammingWhere stories live. Discover now