10. Ditekan

55 13 2
                                    

"Ngomong-ngomong, kau bukannya main Avatar juga, ya? Ayo temenan di sana!" celetuk Jaq spontan. Suasana biasa sebelum mulai pelajaran, Jaq, Lyc, dan Donne yang kehabisan bahan gibahan bakal keliling di Avatar. Aku biasanya hanya memantau, tidak berani ikutan main karena kekuatan bicaraku jarang muncul di kelas.

"Eh ... main, sih .... Cuma, jarang dan tidak terlalu intens seperti kalian. Paling-paling, sejam sehari." Ya, mulutku mulai berlatih berbohong.

"Oh, begitu." Jaq mengangguk. "Tapi tidak masalah, kami hampir selalu online, kok! Jadi saat kau online, kami akan langsung memasukkanmu ke party."

Aku menyesal telah berbohong. Seharusnya tidak pernah kubilang aku hanya main sejam sehari. Kini kalau aku jadi berteman dengan mereka di Avatar, cuma ada dua pilihan. Mengakui fakta yang sebenarnya, atau mencoba meminimalisir jam bermain Avatar. Rasanya aku akan mencoba opsi dua dulu.

"Jadi, apa namamu di Avatar?"

Entah ini sebuah kebetulan atau apa, saat aku hendak menyebutkan nama Arvellyn E T, si Kyle jahanam lewat. Aku tidak boleh membeberkan identitas asliku di depan dia, atau semua akan terbongkar. "Hmm, coba kulihat dulu di aplikasinya. Masih suka lupa-lupa."

Aku mencoba mengulur waktu sampai Kyle tiba di bangkunya. Dia yang kulihat cuma duduk tenang di sana, tidak berniat langsung berkumpul setelah menaruh tas seperti anak-anak cowok. Oh, iya, dia di Avatar memang menunjukkan ciri-ciri tidak begitu punya teman.

Mukanya tidak secerah kemarin, saat sedang menanyai kami satu persatu. Kuingat jelas matanya yang membesar dan senyum tak henti tersungging saat dia mampir ke satu per satu meja---walau akhirnya bokongnya diserang. Kini rambutnya jauh lebih berantakan, seperti tidak disisir. Kulihat juga matanya lebih redup, kantung mata tercetak cukup jelas di bawahnya. Aku jadi takut dia begitu karena frustrasi menunggui Arvellyn yang ternyata sudah memblokirnya. Untuk sesaat, aku merasakan sedikit empati ke orang yang kumaki-maki dalam hati dari kemarin siang sampai malam.

Aku jadi merasa punya tanggung jawab atas kesedihannya ....

"Haloo?" Jaq melambaikan tangan di depan mataku. "Lihatin siapa, sih, sampai bengong gitu? Aku nungguin, lho."

"Oh, iya!" Aku langsung berpaling, kemudian mengeja pseudonym-ku di Avatar.

***

"Oke, anak-anak. Pelajaran biologi kali ini, bapak mau kalian berdiskusi secara berkelompok. Pemilihan anggotanya lewat undian, oke?" Pak Harianto, wali kelasku yang merangkap sebagai guru biologi mulai menyodorkan besek berisi kumpulan kertas yang digulung. Metode pengundian lama, tapi wali kelasku ini masih suka memakainya.

Aku dapat nomor dua. Bakal ada 8 kelompok yang isinya 3-4 orang. Kelompok-kelompok awal biasanya mendapat anggota 4 orang, sementara yang akhir-akhir beranggotakan 3 orang. Sebetulnya aku jauh lebih ingin berada di kelompok yang isinya tiga orang. Lebih sedikit orang, lebih sedikit interaksi, lebih oke.

Jaq menyikut lenganku pelan, kemudian berbisik, "Kelompok berapa?"

"Dua."

Pupilnya melebar sekejap, sampai akhirnya dia melanjutkan, "Sama!"

Wah, beruntung, ya. Setidaknya aku punya teman di kelompok dua, jadi tidak bakal canggung-canggung amat.

"Kalian dua juga?" Donne berbalik. Jaq mengangguk sekilas, aku mengikuti. "Wah, sama!"

Keberuntungan level apa ini?! Semoga anggota selanjutnya Lyc saja!

"Yah, aku kelompok enam!" ujar Lyc, menghadap ke kami. "Nggak bisa bareng kalian, deh."

Oh, kami tidak jadi berkumpul. Tidak apa-apa, sih, setidaknya cuma ada satu orang yang bakal kucanggungi nanti. Begitu Pak Harianto mulai menyuruh berkumpul, Jaq langsung melambai-lambaikan tangan dengan dua jari di atas. "Kelompok dua!" Tidak lupa dia mengusir Lyc yang kini menampakkan muka cemberut.

Aku menunggu-nunggu manusia seperti apa yang akan muncul dan bergabung dengan kelompok kami. Semoga saja cewek, biar awkward-nya lebih sedikit. Tapi jangan cewek dari gengnya Queen, nanti mereka malah sok berkuasa memerintah kami yang anak-anak biasa. Siapa pun asalkan jangan mereka, deh.

Setengah harapanku dikabulkan, yang datang bukan dari gengnya Queen, tapi dia bukan cewek.

Dan sepertinya, aku mulai memikirkan ulang. Lebih baik sekelompok dengan geng Queen saja dibanding orang ini.

"Hai, kawan-kawan. Mohon kerjasamanya di diskusi biologi kali ini. Saya akan menyimak dan memberi pendapat sebisa mungkin."

Kalau kata orang hidup itu roller coaster, di titik ini aku sedang mengalami terjun bebas yang membuat penumpang menjerit lemas. Baru saja kesenangan karena dapat dua anggota yang kukenal, harus dihantam fakta bahwa anggota ketiga adalah seseorang yang paling tidak kuharapkan.

"Oke, ayo kita mulai diskusi tentang ini." Jaq memimpin diskusi. Donne dan Kyle sudah dalam posisi siap, laptop dan buku teks di depan mata. Sementara aku masih kesulitan mencari website karena tidak fokus. Kalau aku selembar kertas yang masih lurus, bisa jadi kini aku sudah berbentuk bola kusut karena tekanannya meremas dari segala sini.

Karena posisi duduk Lyc adalah bangku paling kiri urutan nomor dua, dia sehari-hari duduk di depanku. Otomatis, kini si Kyle jahanam juga menduduki tempat si Lyc. "Kurasa kucing, singa, dan harimau masuk ke keragaman tingkat spesies, bukan gen." Mendengar suaranya saja aku merasa semakin ditekan, padahal dia sedang menjawab permasalahan, bukan memarahiku atau apa.

Aku masih bingung mendeskripsikan apa yang kurasakan sekarang terhadap orang itu. Kesal? Masih iya. Iba? Iya juga, melihat kantung mata dan mukanya yang lemas begitu aku tak tega sendiri jadinya. Merasa bersalah? Juga iya, mengingat aku adalah dalang di balik Arvellyn yang memblokirnya.

Tapi sebentar. Memangnya dia pasti jadi begini karena diblokir Arvellyn? Ayolah, masih ada segudang skenario lain sampai si Kyle bisa jadi seperti ini. Mungkin dia habis dimarahi orang tuanya semalaman, masuk akal juga kan kalau begini! Perlahan-lahan, suasana hatiku yang bagai bola kusut perlahan mulai diluruskan kembali.

Tapi bukankah harusnya, kalau dia punya masalah begitu, dia akan cerita ke Arvellyn? Mengingat seberapa terbukanya dia di pertemuan pertama, pasti dia akan langsung menghubungi Arvellyn untuk bercerita tentang masalahnya. Mungkin setelah cerita ke orang, dia bisa menjadi mendingan, tidak sepucat ini. Oh, astaga, tetap saja pada akhirnya ini salah Arvellyn!

Kertas yang hampir lurus kembali menjadi bola kusut.

Name ShammingWhere stories live. Discover now