8. Budi Lagi

50 11 2
                                    

Dan di sinilah aku. Duduk di ruangan berdinding serbaputih, bersih tidak seperti pikiranku tukang julid. Interiornya cukup lengkap, meja kayu yang dipelitur, dengan sofa merah empuk yang penyangganya juga dibuat dari kayu. Di dinding-dinding banyak sekali lukisan dan pernak-pernik terpajang. Budi pasti sangat bosan menungguku, sampai-sampai sudah lulus kuliah desain interior. Yah, tadi banyak, sih, tugas kimianya. Belum dijeda makan pisang goreng yang dibikinin Ibu.

"Jadi, kenapa kau tiba-tiba mengundangku ke sini? Ada apa?"

"Sebetulnya, aku cuma ingin berbincang," jawabnya singkat. "Karena sekarang kita teman, jadi kupikir kita harus sering menghabiskan waktu bersama ...."

Aku melongo untuk sepersekian detik. Aku yang jarang berteman saja tidak senorak ini, seberapa kesepian orang ini sebelumnya? Tapi karena aku baik hati dan jago bersosialisasi, kuladeni saja obrolannya.

"Oh, iya. Jadi kau punya cerita apa di hari ini?" Biasanya orang-orang senang ditanya seperti ini---padahal aku baru mencoba metode ini di Stretho.

"Tadi pagi, di kelas, ada latihan soal kimia, yang kata gurunya akan sangat menegangkan. Kupikir soalnya bakal susah seperti apa, ternyata mudah sekali."

"Kau ada jawab soal kimia juga?" tanyaku heran. "Sama, dong! Tapi di tempatku soalnya susah-susah banget, setengah lebih tidak bisa kujawab."

"Oh, kasihan," balasnya. " Di tempatku hanya diminta mengidentifikasi proton, elektron, dan neutron dari suatu atom, sama menghitung massa atom relatif."

"Itu materi gampang, ya?" Sepertinya memang aku yang mulai jarang belajar gara-gara main Avatar terus.  Budi mengangguk ringan.

Kami lanjut mengobrol tentang apa pun, terkadang beberapa kali aku hampir mengernyit karena kegiatan kami di sekolah hampir sama. Tiba-tiba ada yang ingin kutanyakan. Begitu dia selesai bercerita mengenai pelajaran Bahasa Indonesia, aku langsung bertanya, "Ngomong-ngomong, kau sekolah di mana?"

"Di SMA Negeri 2 Anturi."

"Lah, sama!" seruku terkejut. "Kelas apa?"

"Sepuluh MIPA satu."

"Wah .... Sama!" 

Sejenak aku sangat senang bisa menemukan teman sekelas di aplikasi ini, tapi mengingat aku tidak pernah akrab dengan semua teman sekelasku, dan aku juga tidak mau dia tahu bahwa identitas asli Arvellyn adalah Siti, tiba-tiba aku jadi cemas.

"Oh, ya?" balasnya. "Nama aslimu siapa?"

"Eh ...." Aku kesulitan menjawab. "Sebaiknya kau tidak tahu diriku siapa, biar tetap terasa anonim saat main ini." Begitulah alasan yang aku coba buat.

"Oke saja kalau kamu tidak mau memberitahu, tapi nanti ujungnya pasti aku akan tahu sendiri siapa dirimu, kok."

Semoga tidak. Aku mulai tidak nyaman berbincang dengan orang ini.

"Karena kita sekelas, bagaimana kalau membahas ulangan tadi?" tawar Budi. Tak mauuuu! Aku mencari-cari alasan untuk keluar dari tempat ini, cuma tidak ada yang terpikirkan. Nggak mungkin berbohong kalau aku harus mengerjakan tugas, kan sudah selesai semua---aku ini anak jujur. Kalau berbohong diminta bantu ibu, dari tadi ibu diam-diam saja melihat aku sedang mengerjakan tugas dengan rajin.

"Oh .... Oke aja ...," terpaksa kujawab begini. Berikutnya yang terjadi adalah dia terus bersabda, dan aku lebih banyak tidak mengerti dia bicara apa. Tapi sekali lagi, karena sudah berlatih membalas teori-teori fisika yang dimuntahkan Stretho, aku mengerti membalasnya bagaimana. Cuma enek saja lama-lama mendengar orang menjelaskan kimia begini.

Ibu tiba-tiba datang ke kamarku. Wah, secercah harapan! "Oh, lagi sibuk, ya?" tanya Ibu. "Ya sudahlah, lanjut saja ...."

"EH TIDAK, TIDAK!" seruku. Sepertinya ini didengar Budi, tapi tidak apalah. "Kenapa, Bu?"

"Mau minta bantu nyetrika, sih. Cuma kalau memang lagi main ya lanjutkan dulu saja."

Aku menggeleng. Nggak, kesmepatan kabur nggak boleh dilewatkan sama sekali. Kapan lagi, ya, kan? "Bisa, kok. Semenit lagi aku ke sana!"

Ibu menatap heran. "Tumben, biasanya kalau sudah main handphone begini susah banget dilepasin, ini tiba-tiba jadi penurut. Ya sudahlah ...." Beliau berlalu.

"Kenapa tadi, Lyn? Aku terkejut tiba-tiba engkau berteriak, padahal aku sedang menjelaskan soal nomor sepuluh."

"Ibu menyuruh menyetrika. Kutinggal dulu, ya!" Ada kesempatan, langsung gaspol! Akhirnya, aku terbebas dari rumus mencari massa relatif.

Name ShammingWhere stories live. Discover now