5. Sial

68 15 8
                                    

Masuk ke kelas adalah hal yang berat bagiku, selalu begitu setiap hari. Tapi hari ini, tekanannya tiba-tiba naik dua kali lipat, mungkin faktor suasana kelas yang biasanya hangat dan ramai tiba-tiba jadi mencekam.

Kumpulan anak-anak hits tidak bergosip seperti yang biasa mereka lakukan setiap pagi. Anak laki-laki di belakang pun tumben tidak bermain sampai teriak-teriak. Anak-anak ambisius yang sehari-hari mendiskusikan pelajaran kini hanya membisu. Ada yang salah.

Di area tempat dudukku, Jaq, Lyc, dan Donne masih dengan formasi biasa. Bukannya berceloteh, mereka malah menunduk lesu dengan buku matematika di atas meja. "Oh, hai, Siti," Jaq menyapa. "Kemarin kenapa kau nggak masuk?"

"Ah ... ada yang meninggal." Untung Jaq nggak lanjut bertanya. Mengumpulkan sedikit keberanian di antara tekanan, aku mencoba bertanya ke Jaq, "Memang ada apa? Kok kalian suram begini?"

"Oh, kau belum tahu. Hari ini matematika minat ada tes."

"Eh?" Aku melotot. "Kapan diumumkan?"

"Kemarin,  kau tidak masuk, ya, jadi tidak tahu," jawab Jaq. "Oh, lagi satu. Kemarin fisika juga ada pretest dadakan." Aku sukses melongo.

Hancur sudah duniaku. 

Buru-buru kuambil buku teks matematika, mencoba belajar seadanya. Tapi nihil, nggak ada yang bisa masuk ke otak karena aku telanjur panik---diriku bahkan bingung harus pelajari halaman berapa.

Di tengah-tengah belajar---yang sebetulnya hanya membolak-balik buku dan berharap ada yang nyantol---salah seorang guru muncul. "Yang kemarin tidak ikut olahraga karena tidak sekolah, jam istirahat pertma nanti ambil nilai sebentar ke ruang olahraga!"

Mampus. Azab memblokir Stretho.

***

Hari ini jam sekolah bikin capek mental parah, untung sudah berakhir. Pagi-pagi, aku disiksa tes matematika. Jam istirahat pertama, nggak sempat makan karena harus mengambil nilai. Jam pertengahan, dimarahi guru PPKn karena diam-diam membaca catatan fisika. Jam terakhir, setelah disindir guru bahasa Inggris---katanya aku sengaja menghindari pelajaran belau---aku akhirnya menelan kenyataan pahit bahwa sebetulnya pretest fisika tidak perlu disusul. Aku kembali ke kelas dengan perasaan super malu.

Keluar gerbang, bukannya langsung naik ke angkutan, aku malah membelokkan diri, berjalan ke arah restoran cepat saji yang katanya hanya seratusan meter dari sekolah. Kayaknya satu porsi kentaki bisa mengobati.

Di jalan, aku mencoba mengusir muka guru bahasa Inggris yang sangat sewot dengan memikirkan paha ayam. Juga muka ceramah guru PPKn, kuganti dengan potongan kentang goreng. Enak!

Ketika sudah dekat, aku tiba-tiba merasa ada yang aneh. Bukannya restoran cepat sajinya pakai plang merah? Kok yang kelihatan malah hijau, sih. Penasaran, aku mempercepat langkah.

Ternyata oh ternyata, restoran cepat saji yang mau kukunjungi sudah berubah jadi kafe. Padahal gosipnya, ayam goreng di sana itu terenak sekabupaten. Eh, sudah keburu diganti jadi kafe. Ya sudahlah, sudah terlanjur jalan dan ninggalin angkot, sekalian masuk saja. Menaruh tas di salah satu tempat duduk, aku berjalan ke kasir untuk memesan.

"Atas nama siapa, Kak?"

Ini yang paling kubenci. Kenapa, sih, di kafe-kafe begini harus pakai kasih tahu nama segala, kan aku malas umbar-umbar nama Siti. mending kalau namaku bagus kayak Arvellyn.

Oh, iya, Arvellyn! "Atas nama Ar---"

"HEI, SITIII!" pekik seseorang dengan suara abnormal. "Oalah, kamu mampir di sini juga? Harusnya bilang ke kami, sekalian jalan bareng-bareng biar nggak kesepian lagi!"

"Oke, Kak. Atas nama Siti, ya." Mbak-mbak itu tersenyum puas, kemudian mencatat namaku di gelas.

Beberapa pengunjung tertawa, dan mentalku langusng down ke Palung Mariana.

Dengan perasaan yang masih acakadut, aku menyeret kaki menuju kursi, yang kini ikut ditempati Jaq, Lyn, dan Donne. mereka mulai berbincang seperti di kelas. "Eh, gimana-gimana sama cowok yang di Avatar itu? Siapa namanya, Kezwenn?" Jaq memulai.

"Ternyata kami nggak cocok," jawab Lyc, dengan muka cemberut. "Dia itu Aries, dan katanya Aries nggak cocok sama Taurus! Jadi kita sepakat menjauh sebelum terlalu dekat." 

"Turut berduka, Lyc, turut berduka," ujar Jaq. "Terus Donne, gimana sama yang kemarin? Siapa tuh namanya ... Stereo?"

"Stretho," koreksi Donne. Sarafku tiba-tiba tegang. "Ya, belum gimana-gimana, sih. Kami baru mengobrol sebnetar. Dia curhat tiba-tiba ditinggal orang yang dia suka dari semalam. Oh, ini ada pesan lagi!" Donne sekarang sibuk dengan handphone-nya.

Aku jadi merasa bersalah ke Stretho, meninggalkan tanpa bilang-bilang.

"Eh, lihat, nih, si Rezkyz." Jaq memamerkan aplikasi Avatarnya. "Dia beliin avatarku baju baru!" Oh, ada fitur beli baju juga, toh .... Selama ini kupakai untuk ngobrol-ngobrol saja. 

Ketiga orang di depanku sekarang berhenti mengobrol, mulai asyik dengan layar handphone masing-masing. ada yang senyum-senyum sendiri, ada juga yang datar karena kebingungan mau bicara ke siapa. Tapi tunggu, aku baru sadar. Yang disita Ibu kan cuma VR-nya, jadi aku masih bisa main ini pakai handphone, dong! 

Mwahahahahahaha, ternyata tidak ada yang bisa menghalangiku dari Avatar!

"Siti?" Jaq kebingungan. "Kok tiba-tiba nyengir sendiri?"

Name ShammingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang