15. Kak Ben

46 10 2
                                    

Aku mengeluarkan banyak sekali air mata di bus. Hal ini sama sekali tak kurencanakan, pada awalnya, aku kecewa pada diri sendiri. Sesaat aku membayangkan diriku yang selama ini sudah berusaha keras demi membalaskan dendam, tiba-tiba saja mundur gara-gara ketentuan memasukkan nama  asli. 

Tapi hatiku seolah sedang berperang dengan logika yang ada, aku mulai memaklumi diri sendiri. Punya dan menghindari ketakutan itu wajar, dan aku berhak melakukannya. Selama ini begitu dan masih hidup, kok, takkan kubiarkan orang asing merusaknya. Toh, aku masih bisa hidup tanpa kompetisi. Masalah malu, tinggal buat akun lagi dengan nama berbeda.

Lama kelamaan aku mulai membenci mereka-mereka,  yang bisa enteng mendaftar tanpa beban sama sekali. Mereka beruntung punya orang tua baik yang memberi nama bagus-bagus. Aku mulai membenci ibu juga. Durhaka? Menurutku, wajar saja benci kepada orang yang membuatmu menderita selama ini.

Selain timbulnya kebencian ke trio Jaq, Lyc, dan Donne yang bisa dengan enteng mendaftar, kebencianku terhadap Kyle juga timbul lagi, malah makin menjadi-jadi. Bisa-bisanya ada manusia yang sangat tidak bersyukur, sudah dapat nama keren, diubah jadi Budi Susanto. Makin diingat, makin sakit hati aku, hingga akhirnya cairan benning mulai tumpah-tumpah seperti bak mandi yang sudah penuh tapi kerannya lupa dimatikan.

Ketika turun, saat bercermin di ponsel, aku kaget sendiri melihat mukaku. Poni jadi acak-acakan karena sedari awal kutarik-tarik kecil saat sedang menangis. Di bawah mata yang kini agak memerah dan sayu, tercetak garis gelap samar-samar yang timbul karena bengkak. Tapi persetan. Toh, di rumah ibu dan ayah belum ada, cuma aku sendiri. Sekarang tiba-tiba aku jadi kesal sendiri karena ibu tetap bekerja alih-alih menemani anak di rumah, padahal sebelumnya biasa-biasa saja.

Merogoh kantong, aku mengambil kartu sebagai kunci masuk rumah. Ketika pintu dibuka, aku terkejut karena lampunya nyala. Baru jam segini,  mana mungkin ibu dan ayah pulang. Masuk lebih dalam, aku terkejut melihat siapa yang datang.

"Oh, Siti? Sudah pulang, ya?"

"Kak Big Ben?" Big Ben hanya julukan karena tubuhnya besar dari kecil, nama aslinya Benedict Jacxvel Har---

Cih, mengingat nama lengkapnya yang bagus, aku kesal sendiri, jadi tak mau kulanjutkan. Tiba-tiba saja sosok Kak Big Ben yang jadi saudara favoritku jadi tampak mengesalkan hanya karena namanya.

Lelaki gempal berkulit sawo matang dengan kacamata berbingkai bulat ini adalah anak Tante Dhia, yang kuceritakan di bab 1 kalau kalian masih ingat. Baru setahun yang lalu masuk kuliah. Memang suka datang tiba-tiba ke rumah kayak maling, tapi aku masih saja suka terkejut.

"Jangan panggil Kak Big Ben lagi, dong, malah mirip menara lonceng. Panggil Kak Ben saja."

Nye nye nye, bacot kamu, Kak. Maaf kebablasan, aku saat ini sedang super kesal ke orang-orang yang punya nama bagus.

"Ngomong-ngomong, kok kamu sekarang kelihatan kayak singa habis nonton film sedih, sih? Habis ngapain?" Padahal tidak terkesan menyudutkan, malah begitu bersahabat. Namun, aku saat ini malah tersinggung.

"Nanya mulu, sih, kayak wartawan. Udah, mau istirahat dulu Siti, capek sama dunia." Dan aku melenggang ke kamar seperti drama queen. Citra pendiamku di sekolah sangat tidak berlaku di depan saudara-saudara dekat, dari kecil aku memang lebih ceria, sih. Gara-gara Jhazone yang jahat, aku jadi kehilangan percaya diri.

Atau jangan-jangan ... justru Jhazone yang baik? Dia seperti realita hidup, pahit tapi jujur. Selama ini aku tidak akan sadar bahwa namaku jelek di mata orang kalau bukan gara-gara Jhazone.

***

"Siti?" Kak Ben mengetuk pintu. "Mau cerita sama Kak Ben?"

"Kak Ben nggak bakal ngerti," balasku sewot. 

"Haid?" tebaknya. "Kalau itu memang nggak ngerti, sih."

"Bukan. Lain, pokoknya nggak bakal ngerti," sahutku. 

"Kak Ben masuk, ya." Aku tidak menjawab. Beberapa saat kemudian Kak Ben membuka pintu. "Kenapa?" Lagi-lagi kudiamkan, sudah malas menjelaskan bahwa sampai kapan pun, orang-orang yang punya nama bagus tidak akan mengerti perasaanku. "Masalah percintaan, ya? Berantem sama pacar?" Dia tergelak.

"Bukan, keles! Aku belum punya pacar!"

"Kalau gitu, pasti karena galau, ya, kenapa belum ada cowok yang deketin? Sini, Kak Ben kasih tips---"

"Dibilangin enggak! Pokoknya bukan sedih gara-gara cinta. Emangnya Kak Ben, yang gara-gara diputusin waktu SMA sampai nolak terus saat kuajak main."

"Hahahaha, masih ingat aja kamu. Terus, kenapa, dong?" Aku kembali bergeming seperti rumput yang malas bergoyang. "Cerita aja. Kalau cerita, kan, bisa kita selesaikan sama-sama. Kak Ben bisa bantu kok, pengalaman remaja Kak Ben sudah di atas Siti, kali."

Aku yang dari tadi tiduran membelakangi Kak Ben mendadak bangun dan menatap garang. Kupandangi mata beriris gelapnya yang kini kebingungan dengan sinis. "Kak Ben mana ngerti, rasanya punya nama jelek dan kampungan sampai diejek! Kak Ben kan beruntung punya ibu Tante Dhia, yang kasih nama keren-keren ke anaknya! Kak Ben mana paham rasanya jadi aku, yang dapat ibu suka kasih nama jelek dan kampungan!"

Giliran Kak Ben yang sekarang bergeming.

"Mana? Katanya pengalaman remajanya sudah di atas, pas sudah diceritain diem juga, kan? Makanya aku nggak mau cerita, bikin capek aja, nggak ada pengaruhnya. Sekarang, Kak Ben mending keluar, deh. Makin sesek tahu kamar ini, gara-gara badan Kak Ben kayak tiga orang lagi ngumpul!"

Aku turun dari kasur, kemudian mendorong tubuh Kak Ben yang super besar kayak nama paket ayam Kaepci. Tenagaku sendiri sebetulnya nggak akan cukup, untung kak Ben mau kooperatif---mungkin melihat mukaku saat itu yang seperti orang kerasukan---dengan berjalan keluar setelah kuberi dorongan dengan kedua tangan.

***

Perutku keroncongan, belum makan siang. Mungkin karena habis menangis, menghabiskan banyak energi, atau memang karena jam tubuh. Biasanya, kalau nggak ada acara ngambek seperti ini, begitu sampai rumah aku langsung makan. Aku juga sedikit tidak enak dengan Kak Ben. Sepertinya aku kelewataan, saat menyinggung mengenai tubuh Kak Ben tadi, jadi sekalian minta maaf.

Menuruni tangga, aku mendapati sosok Kak Ben sedang di meja makan, menikmati ayam Kaepci---aku curiga ini paket super besar---yang biasa dibawakannya ketika main ke sini.

"Hei, Siti, makan sini, sudah Kak Ben belikan ayam Kaepci." Akhirnya dia menyadari keberadaanku ketika sampai di tangga paling ujung. Aku duduk dengan canggung tepat di depannya setelah mengambil piring, dan tidak lanjut berkata apa-apa setelah mengambil sepotong paha atas dan nasi.

"Ka-kak Ben, maaf kalau tadi aku nyinggung badan Kak Ben. Nggak bermaksud, cuma terbawa emosi," akhirnya aku memberanikan diri bicara duluan.

"Udah gendut, makannya bukannya dijaga, malah makan terus. Mau semelar apa badannya nanti?" tiba-tiba Kak Ben berceloteh sendiri, alih-alih membalas ucapanku. "Kak Ben dari kecil udah biasa sama penghinaan kayak gitu, udah jadi makanan. Tapi ini bukan berarti Kak Ben memaklumi semua orang yang menghina Kak Ben. Marah sama mereka ya pasti.

"Jangan kira hanya gara-gara namanya 'bagus' jadi bebas hinaan. Dari kecil Kak Ben kena body shamming terus, tuh. Malah, Kak Ben agak kaget kamu juga dihina, soalnya badanmu oke-oke aja. Ternyata kamu malah kena name shamming. Name shamming? Wahahahahaha!" Kak Ben tertawa dengan istilah yang dia buat sendiri. "Kalau Kak Ben, sih, tinggal fokus ke orang-orang yang mengerti dan dukung kita. Yang jelek-jelek abaikan saja, tapi jangan terlalu apatis juga."

"Kalau nggak ada yang dukung dan mengerti kita gimana?" tanyaku.

Kak Ben tergelak. "Hatimu masih tertutup kekesalan kayaknya, sampai nggak bisa melihat teman yang selama ini mengerti kamu. Percaya sama Kak Ben, pasti ada."

----

Makasih atas tema yang sangat masuk ke ceritaquh ahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahahhahahahahahahahahhahahahahahahahahahahahahahaha!

Name ShammingWhere stories live. Discover now