9. Bertemu Budi

47 12 5
                                    

Ada hikmah yang bisa dipetik dari setiap kejadian---mungkin pemblokiran Stretho jadi pengecualian, yang kupetik malah kesialan. Misalnya saja, insiden di kafe waktu itu. Meski mesti menanggung malu , pada akhirnya aku mulai terbiasa dengan tiga orang yang duduk di sekitarku itu. Mereka ternyata tidak terlalu judgemental dengan namaku, jadi tekanan berkurang sedikit saat di sekitar mereka.

Ketika mereka bergosip di pagi ini pun, aku sudah mulai menyetor muka, tidak bersembunyi bagai kura-kura ketiduran. Habis ini pelajaran olahraga, mereka membicarakan tentang guru olahraga yang katanya gantengnya bikin pusing---padahal aku biasa aja, tuh. Lebay mereka.

"Yang aku suka tuh dari matanya. Pas ngabsen terus noleh itu, wah meleleh aku!" seru Jaq antusias. Lyc dan Donne ikut senyum-senyum mesum mendengarnya, sementara aku menyimak. "Terus-terus, bibirnya ...."

"Selamat pagi." Tiba-tiba salah satu cowok datang ke meja kami. Rambutnya yang agak panjang tidak disisir klimis seperti cowok lain, malah dibiarkan hinggap di dahi sampai-sampai mengenai alis. "Saya mau bertanya. Di antara kalian ada yang bermain aplikasi Avatar, tidak?"

Jaq berhenti mendeskripsikan rupa si guru olahraga untuk menoleh ke arah cowok yang baru datang ini. "Kau siapa? Kok tiba-tiba datang terus nanyain begitu?"

"Oh, sebelumnya, perkenalkan namaku Kail." Sori kalau salah, tapi yang kudengar dia bilang namanya Kail. Kail Pancing mungkin panjangnya.

"Kenapa tanya begitu?" Jaq kinimenatap tajam ke arah lawan bicaranya. Aku, Lyc, dan Donne masih setia menonton sementara Jaq dengan rambut keriting panjangnya yang dikucir satu menjadi juru bicara.

"Karena aku sempat bertemu salah seorang cewek di kelas ini waktu bermain Avatar. Kupikir karena kami cukup cocok saat berbincang di sana, kami akan cocok berteman di dunia nyata. Kuharap aku bisa menemukan dia."

Yang awalnya terlintas di benakku adalah orang ini begitu romantis, dia mencari Julietnya sampai ke dunia nyata. Aww .... Namun, setelah sadar bahwa aku kenal gaya bicaranya dan siapa yang dimaksud, tiba-tiba aku keringat dingin.

"Di antara kami bertiga, sih, jelas nggak ketemu kamu, ya," jawab Jaq. "Siti? kau memang nggak pernah ketemu dia, kan?"

"Ahaha ... iya, mana pernah. A-aku seingatku tidak pernah dengan orang di kelasku." Kemampuan bicaraku hilang setengah. Lidahku ini seakan didesain untuk berkata jujur, jadi akan sedikit konslet kalau dipaksakan berbohong. "Yang jelas tidak pernah bersama sekelas di friendlist, kok ...."

Aku ngomong apaan, sih? Kayak orang sakau aja.

"Oh, baiklah," ujar Kail. "Terima kasih!" Kemudian dia menginvestigasi ke kumpulan cewek-cewek lain. Aku seharusnya tertawa saat Queen mendamprat dan menendang bokong Kail ketika dia tiba-tiba nongol di sesi cerita horror geng anak populer, cewek itu teriak paling keras karena merasa dikagetkan Kail. 

Tapi yang kini kurasakan hanya kecemasan.  Semoha aku nggak ketahuan sampai akhir.

***

Ketika sudah waktunya pulang, lagi-lagi aku tidak langsung balik. Ini masih setengah dua, sementara ibu biasa pulang setengah empat. Masih bisa nongkrong sebentar.

Walau dulu tidak begitu suka duduk-duduk di kafe, aku mulai menyukainya karena tidak seramai yang kuduga. Ramai, sih, banyak anak sekolah yang datang juga. Cuma karena hampir tidak ada yang mengenalku, rasanya cukup tenang.

Dapat tempat duduk, aku tidak langsung memesan. Niatnya mau main Avatar sebentar dulu, sih, cek kotak masuk aja. Kalau-kalau ada undangan dari si Budi, bisa langsung kutolak dulu biar nggak menunggu kayak kemarin. Kalau sudah menunggu gitu, kan, nggak enak menolak.

"Eh, engkau yang tadi di kelas, bukan?" Tiba-tiba kepala manusia bertengger di atas bahu kananku, dia bertanya to the point tanpa basa basi. Aku memandang iris cokelat mudanya selama beberapa detik karena aku tidak tahu harus menjawab apa. Semua kemampuan bersosialisasi yang kubangga-banggakan di Avatar lenyap begitu saja, menyisakan seorang Siti, cewek kuper yang selalu takut bersosialisasi.

"Oh, iya, yang di kelas!" ujar Kail pada akhirnya. "Mumpung kamu lagi bermain Avatar, ayo main bareng! Kita berteman di sana."

"Emm ...." Tidak, tidak! Ayo, pikirkan bagaimana cara keluar dari aplikasi ini. Secara tiba-tiba, aku mengubah posisi tangan dalam memegang handphone, dari posisi main game langsung berubah jadi gestur menelepon dalam sekejap. "Ke-kenapa, Bu?"

Astaga, kalau lidahku terus-terusan kaku begini bisa-bisa ketahuan!

"Oh ... pu-pulang sekarang? O-oke." Aku memasukkan handphone ke tas buru-buru. "Eh, maaf, ya, Bu ... maksudku, Kail. Aku tiba-tiba ditelepon Ibu, disuruh pulang cepat."

Kail tertawa sejenak. "Baiklah. Ngomong-ngomong, bukan Kail seperti di kail pancing. Ka-ye-el-e. Kyle."

"Oh, sori, Kyle! Duluan, ya!" Aku berlari ke arah halte, menunggu bus berikutnya menuju rumah.

Aku heran. Kenapa yang punya nama asli sekeren Kyle mau ganti nama jadi Budi Susanto, ya? Sungguh tidak bersyukur pada nama sendiri, ras manusia yang paling kubenci. Lama aku memikirkan ini di perjalanan pulang. 

Blocking Budi Susanto?

Sebuah pop-up muncul di layar handphone. aku memencet opsi 'yes'.

Name ShammingWhere stories live. Discover now