11. Pengakuan

39 12 0
                                    

Akhir-akhir ini otakku jadi butek seperti kolam lele. Sejak kemarin, saat melihat Kyle yang lemas seharian, aku mulai merasa bersalah. Semakin malam, semakin kupikirkan, lama-lama sampai jadi nggak nyaman sendiri. Sebelum ini menggangguku lebih lama lagi, hari ini, aku memutuskan untuk memberanikan diri menghadap ke Kyle saat jam pulang.

Selesai jam pelajaran terakhir, begitu bel pulang berbunyi, aku tidak langsung meninggalkan kawasan kelas setelah bersalaman dengan guru. Aku kini berdiri di depan pintu menunggui Kyle keluar.

Begitu menangkap sosok pemuda tinggi berkulit pucat dengan rambut gondrong mulai berjalan pelan sambil menatap ke bawah, aku refleks memegang bahunya. "Hei."

"Ciye ciyeee!" seruan beberapa anak cowok yang juga sedang lewat menyadarkanku bahwa tindakan barusan sangat aneh saat dilakukan seorang Siti di dunia nyata.

"Eh ...." Dengan cepat aku melepas tanganku dari bahunya. Kyle mengernyitkan alisnya saat menghadap ke arahku, mengisyaratkan pertanyaan "ada apa?". Aku yang tiba-tiba terserang panik tidak bisa menjelaskan apa-apa, terlebih beberapa cowok kini berhenti untuk menunggu tindakanku berikutnya. Kyle berlalu meninggalkanku setelah didiamkan selama hampir lima belas detik.

"Yah, nggak jadi adegan romantis-romantisan! Bubar-bubar!" seru salah satu cowok, mengomando yang lain. Mereka semua meninggalkanku yang kini menatap hampa ke tembok, merenungi apa yang barusan kuperbuat. Sepertinya tadi aku lagi kerasukan aura Pak Setno yang freak.

***

Membuang malu, rasanya bersantai di kafe adalah pilihan yang tepat. Oh, tidak, sejak kapan aku mulai kecanduan nongkrong di kafe? Rasa-rasanya, di SMP, aku selalu jadi anak yang sekolah pulang sekolah pulang.

Masuk ke kafe, aku disambut interior yang kebanyakan terbuat dari kayu. Beberapa meja bundar dengan dua atau empat kursi yang mengapit kini dipenuhi siswa-siswa dari sekolahku. Penuh begini, aku sangsi bisa dapat tempat duduk.

"Siti? Ini betulan kamu, ya?"

Mampus. Aku ke sini bersantai untuk mencoba melupakan kejadian barusan, malah dihadapkan sama Kyle di tempat ini. Selain otakku yang jadi butek, akhir-akhir ini memang keberuntunganku kecil sekali, lebih banyak sialnya.

"Eh, i-iya," jawabku, menatap ke arah iris cokelat terangnya yang agak sayu. Tiba-tiba, aku punya pemikiran untuk sekalian mengeksekusi pengakuanku di sini saja. Mumpung dapat kesempatan bertemu dengan Kyle tanpa gangguan anak-anak di kelas, kan. "Boleh aku duduk di sini? Susah mencari kursi kosong lagi."

Kyle mengangguk. "Silakan."

Pertama-tama, agar tidak langsung canggung, kumulai dengan basa basi. "Kau sedang apa di sini? Kuperhatikan, kau sering di sini sepulang sekolah, ya."

"Begitulah, aku selalu di sini sepulang sekolah. Mama baru akan pulang pukul empat nanti sepulang kerja. Daripada terdiam di rumah, aku main saja di sini. Enak, ramai. Tidak kosong dan sendirian seperti kalau di rumah."

"Sama berarti. Ibuku juga baru pulang sore-sore, aku sendirian di rumah," aku menimpali.

"Oh, begitu ...." Setelah itu, kembali diam-diaman. Kyle kini mulai menyalakan handphone---aku malah salah fokus sendiri sama handphone-nya, keluaran paling baru yang lagi hits ini.

"Kau sedang apa?" tanyaku.

"Cuma lihat-lihat Avatar," jawabnya singkat.

"Oh, oke ...." Kembali senyap. Nah, aku sekarang benar-benar bingung harus melakukan apa. Rasanya semakin berat untuk mengungkapkan, terlebih lagi Kyle sekarang menatap layar dengan sendu sekali. Aku makin takut, dia sudah benar-benar kecewa karena tiba-tiba Arvellyn menghilang begitu saja. Ketika membayangkan rasanya ditinggal teman pertama dan satu-satunya, kini aku mengerti perasaan Kyle. Pasti kepikiran terus, tersiksa sepanjang hari.

Tapi, kalau kubiarkan begitu saja, bukankah akan menimbulkan trauma berteman pada diri Kyle? Maka dari itu, akhirnya aku memutuskan untuk mulai membuka pembicaraan.

"Ada yang mau aku bicarakan, sebenarnya."

Kyle langsung mengangkat wajahnya, menoleh ke arahku. "Apa ini yang mau kausampaikan tadi di kelas?" Aku mengangguk. "Tentang apa?"

"Maaf sebelumnya kalau mengecewakanmu ...." Aku menarik napas, bersiap atas segala konsekuensi yang akan terjadi di depan. Menyalakan handphone, setelah membuka aplikasi Avatar dan memencet profil, aku menunjukkannya ke Kyle.

"Eh?" Matanya yang dari tadi sayu mendadak melotot. Cepat atau lambat, dia memang harus tahu kenyataannya.

"Akulah Arvellyn. Maaf beberapa hari ini menghilang, cuma panik karena kau mulai mencari mengenai identitas asliku. Aku sebenarnya benar-benar ingin membuat lingkup pertemananku di Avatar dan dunia nyata terpisah. Tapi, melihatmu belakangan ini lemas sekali, rasanya benar-benar tidak tega. Sekalian saja kubuka di depanmu."

Walau ada fakta yang sedikit dimanipulasi, setidaknya aku sudah mengungkapkannya. Hore.

-----

Selesai juga untuk minggu ini. Fyuh.

Name Shammingحيث تعيش القصص. اكتشف الآن