14. Kumpul

44 9 1
                                    

Hari ini rencananya kami mau mengadakan kumpul dulu, sebelum acara utama dimulai Sabtu nanti. Masih ada sekitar empat hari menuju kompetisi, bisa persiapan dulu. Aku yang pertama masuk di sore ini memutuskan untuk langsung membuat ruangan. 

Begitu dibuat, nggak seperti saat masuk ke ruangan yang dibuat Stretho atau Budi, isinya masih polos sekali seperti anak perawan. Hanya ada dinding, lantai, dan langit-langit yang semuanya berwarna putih. Ada sebuah tombol merah yang mencolok di satu sisi dinding, di bawahnya ada tulisan "Customize".

Setelah kupencet, timbul dua pilihan, "Customize Room" dan "Customize Member". Memencet opsi pertama, ditawarkan beberapa pilihan untuk mendesain ruangan ini. Mulai dari warna dinding yang kuubah jadi jingga, lantai yang kuubah jadi pola kotak-kotak, menambah satu meja bundar di tengah, dan terakhir empat buah kursi. Aku nggak mau menyusahkan diri sendiri dengan memasang lukisan-lukisan di dinding seperti mereka.

Begitu selesai mendekor sedikit-sedikit, aku mengirim undangan ke mereka. Budi masuk sekitar lima menit setelah kukirimi, sementara Rhy dan Zhy masuk hampir bersamaan, dua menit setelah Budi. Setelah kami semua duduk, aku memulai pembicaraan.

"Jadi, apa saja yang akan kita bahas hari ini?"

"Nggak tahu," sahut Rhy. "Bagaimana game-nya nanti kan belum dikasih ketentuan, kita nggak bisa persiapan dari sekarang."

"Jadi untuk sekarang kita ngapain?" lanjutku.

"Ya ... main tic-tac-toe?" tawar Zhy. Kalau ini di dunia nyata sudah kutampol. Eh, kalau di dunia nyata, mana berani aku barbar. "Nggak tahu juga."

"Mungkin, kita harus berkenalan lebih lanjut?" usul Budi. "Tidak harus identitas lengkap sampai nama asli dan umur juga, sih, mungkin dari provinsi mana? Siapa tahu kita seprovinsi, bisa langsung bertemu tatap muka."

"Boleh saja .... Aku dari Sulawesi Tenggara, tepatnya Buton, sih," jawab Rhy.

"Lho?" sahut Zhy. "Serius? Aku Buton juga, lho."

"Hah? Mukamu nggak ada buton-butonnya, tahu. Kulit putih, mata agak kebiruan, mana ada buton-butonnya itu."

"Betulan, lho." Sekarang mereka berdua sibuk berbincang. "Di darahku ada campuran Belanda-nya, sih. Aku lahir begini karena zaman dahulu salah seorang moyangku yang asli Buton nikah dengan orang Belanda. Kemudian, kakekku pun cari calonnya orang Belanda. Jadi, ya, gennya tetap ada."

"Ooh, asyik, dong, kapan-kapan kita bisa ketemuan!" seru Rhy. "Nggak kayak mereka, nih, dua sejoli yang belum tentu sedaerah ...."

"Yee, aku satu sekolah kali sama si Budi!" balasku cepat.

"Ciyee yang sudah ngaku jadi sejoli!"

***

Hari ini hari jumat, sehari sebelum acara dimulai. Masih di sekolah, jam pelajaran terakhir jam kosong. Jadi, kami hanya main ponsel sepanjang kelas. Walau ada tugas di papan, tetap tak ada yang peduli dan tetap fokus pada ponselnya. Biarlah, tugasnya disetor minggu depan, pun, bisa dibuat di rumah.

"Eh, eh, kalian udah cek Avatar? Jam sepuluh tadi aku dikirimi surat dari developer-nya, judulnya sih pengisian identitas pemilik tiket. Cepetan buka, deh, biar bisa kita isi," seru Jaq. Meski ini ditujukan pada Lyc dan Donne, aku juga ikutan mengecek Avatar. Penasaran, disuruh isi formulir seperti apa.

Membuka tautan yang dikirim, ini mengarahkanku pada sebuah form, mengenai identitas diri. Duh, mengenai identitas diri, perasaanku jadi tidak enak.

Benar saja, di paling awal, yang diminta adalah nama asli. Di bawahnya berisi keterangan, bahwa nama tersebut harus sebenar-benarnya, karena akan dicantumkan di daftar peserta dan sertifikat. Dicantumkan di daftar peserta dan sertifikat. Dicantumkan di daftar peserta dan sertifikat.

Avatar  babi, katanya aplikasi sosmed anonim, ujung-ujungnya seperti game pada umumnnya juga, kalau sudah masuk kompetisi, tidak ada lagi keanoniman.

Mampus saja aku. Membayangkan ekspresi Jhazone saat membaca nama Siti, cukup membuat diriku ingin mengundurkan diri sesegera mungkin. 

"Hei, sini sebentar!" Kyle memanggilku dari belakang. Masih dengan perasaan campur aduk, aku memaksakan diri bergerak ke arahnya. "Sudah lihat pesannya, kan? Cepat isi, sebelum jam satu sudah harus terkumpul itu! kalau tidak, kita tidak bisa balas dendam ke si sombong!"

"Hmm, Kyle ... sepertinya ...."

"Kenapa?" Dia memegang bahuku, sepertinya karena sejak tadi aku terlihat super gemetaran. Mataku bahkan tidak berani menatapnya. "Ada apa?"

"Pelajaran hari ini, telah selesai. Selamat ...."

"Aku mau mengundurkan diri, maaf." Bertepatan dengan pengumuman pulang sekolah, aku buru-buru mengambil tas, dan pergi jauh-jauh, belum sanggup menghadapi Kyle yang belum kuberi kejelasan sama sekali. 

Name ShammingWhere stories live. Discover now