2. Avatar

148 19 23
                                    

Kalau dihitung-hitung, sudah seminggu sejak diriku pertama kali menginjakkan kaki di sini. Aku masih saja belum akrab dengan teman-teman baru. Bahkan kupikir kemungkinan besar aku tidak akan pernah dekat dengan mereka, seperti waktu SMP.

Tapi jangan salah paham. Diriku bukan bagian dari anak-anak kuper yang masa sekolahnya didedikasikan untuk belajar, belajar, dan belajar. Bukan juga spesies maniak anime yang selalu duduk di pojokan kelas sambil diam-diam membaca manga. Perbedaan mendasar yang membedakan orang-orang itu denganku, adalah mereka menyendiri karena pilihan, aku menyendiri karena nasib.

Masih tertancap di benakku kata-kata dari seorang titisan setan yang membuat diriku menyendiri selama sisa sekolah menengah pertama. Dia tiba-tiba lewat, saat itu sedang jam istirahat dan aku berdiri di kantin, baru ingin kembali ke kelas.

"Halo Mbok Siti gila! Eh, ups. Maaf ya, Siti, aku keceplosan manggilnya. Namamu mirip janda gila di depan gang rumahku, sih." Kemudian dia mengeluarkan senyum tak bersalah. "Makanya punya nama jangan aneh-aneh, ya, kan?" dia bilang begitu ke antek-anteknya yang mengekor di belakang seperti sapi mengikuti pemilik.

Masih kuingat betul nama anak SMP yang mulutnya sepedas ibu-ibu gosip itu, Jhazone L---aku lupa L kepanjangannya apa, kalau tidak salah Lampir, ya. Gara-gara si Lampir, aku insekscyure---bagaimana tulisannya aku lupa---sampai sekarang. Duh.

Oke, berhenti kasih panggung ke Jhazone L karena dia cuma cameo tidak penting.

Aku berjalan pelan memasuki kelas sambil menunduk, tapi bukan karena takut kesenggol batu. Entah kenapa, walau mereka sendiri belum pernah menghina namaku secara langsung, aku merasakan tekanan tersendiri saat menghadapi orang-orang yang tahu namaku. Rasanya aneh sekali, seperti sedang ditekan ke segala arah, tapi nggak bisa melihat sang penekan. Bahkan mungkin nggak pernah ada sang penekan, hanya ilusi yang diciptakan otakku sendiri.

Yang rumit, walau tahu ini ilusi, tetap saja aku merasa ditekan.

Sampai di tempat duduk, aku langsung pura-pura tidur untuk menyamarkan keberadaan. Setidaknya, ketika menyembunyikan diri, aku merasa sedikit lebih aman. Seperti ulat yang berlindung di balik kepompong, aku berharap di dalam sini namaku bermetamorfosis, sehingga saat keluar, sudah tak ada lagi Siti. Yang ada adalah aku dengan nama baru, yang tentunya jauh lebih keren. Sayang namaku bukan serangga.

Dalam pose pura-pura tidur begini, aku bisa mendengar jelas celotehan Jaq, orang yang duduk di sampingku, dan juga Lyc serta Donne, yang duduk di bangku depan kami. Lyc dan Donne akan menghadap ke belakang, kemudian mereka bertiga mulai berbincang.

"Eh," Jaq memulai, "kalian udah sempat main Avatar belum?"

"Apaan, tuh?" sahut Donne.

"Dih. Ini lagi nge-trend banget loh. Instastory orang aja isinya kode buat bertemen di Avatar semua," balas Jaq.

Aku nggak pernah menemukan itu di instastory. Aku nggak main Instageram juga, sih, soalnya. Siapa coba yang mau ku-follow? Ibu Ayah nggak main, nggak punya teman dekat pula aku.

"Aku memang belum liat instastory dari kemarin, sih. Sekarang, deh."

"Nah, cepat liat. Kau udah main, Lyc?"

"Tentu," jawab Lyc. " Ayo main bentar,  sekalian temenan. Mumpung upacara masih lama."

"Emang ini aplikasinya ngapain, sih?" Donne tiba-tiba bertanya. "Semacam game?"

"Bukan, ini malah kayak sosial media. Cuma dia dibuat pakai VR, jadi spesial gitu, deh! Semua orang udah nyoba, tau, buruan download!"

Aku belum. Tapi aku sejatinya memang tidak masuk ke golongan "orang" yang mereka maksud.

Selang beberapa menit kemudian, Donne kembali bertanya. "Habis buat karakter, ini diisi pake nama apa, Jaq? Nama asli?"

"Pakai nama karangan, Don. Jadi kita kalau kenalan nanti pakai identitas baru gitu, lah. Asik, kan? Mirip game, tapi ini sosial media. Buat cari teman tanpa pandang identitas asli."

Hmm ... katanya buat cari teman tanpa pandang identitas asli. ujung-ujungnya friendlist juga dipenuhi teman-teman real life, tuh.

Tapi benakku langsung kinclong saat mendengar identitas baru. Identitas baru, berarti nama baru. Nama baru, berarti selamat tinggal Siti! Tenang. tidak seperti mereka, aku akan benar-benar menggunakan nama samaran di aplikasi ini, kok. Aahaha ....

Akhirnya aku bisa hidup normal dengan nama keren! Agaknya aku harus mengadakan tumpengan, pesta syukuran. Sadar kekurangan dana, aku mengurungkan niat. Mungkin pesta bakso untuk diriku sendiri sudah cukup.

Sepanjang upacara, aku sibuk memikirkan nama yang akan kugunakan nanti.

***

Arvelin Eritia Tineta.

Oke, sih. Tapi rasanya kurang keren kalau begitu saja.

Arvellyn Erythiya Tynettha. Ini baru sempurna.

Sampai rumah, aku buru-buru mencari handphone yang terdampar entah di mana. Aku bukan tipikal orang yang membawa handphone ke mana-mana, bahkan saat berak. Aku ini tipe orang yang lebih sering menyentuh remot televisi dibandingkan handphone, yang cuma kupakai untuk menerima pengumuman lewat chat atau browsing pelajaran.

Tapi itu dulu. Aku yang dulu bukanlah yang sekarang! Aku yang sekarang adalah Arvellyn Erythiya Tynettha, bukan Siti Jubaedah. Panggil aku Lyn!

Selesai meng-install, aku langsung mengambil perangkat VR yang sehari-hari kugunakan untuk main game. Tidak seperti perempuan lainnya yang tidak begitu suka main game, dan lebih senang nongkrong di sosial media, aku berbeda. Aku yang susah bersosialiasi karena terbayang-bayang ucapan si Lampir kagok sendiri disuruh main sosial media, jadi kuhabiskan waktu dengan menjadi anonim di game online.

Tapi itu dulu. Aku, kan, sekarang mau main sosmed! Perdana aktif di salah satu sosmed jadi momen yang cukup menegangkan dalam hidupku, seharusnya. Tapi yang kurasakan malah semangat. Nggak seperti hari-hari sekolah yang super membebankan dan penuh tekanan karena mereka tahu namaku, kali ini aku kembali merasakan perasaan antusias. Ada apa ini?

Baru membuka aplikasi, aku diberi pilihan, ingin menggunakan VR atau melalui handphone saja. Kupilih opsi menggunakan VR untuk sensasi yang lebih seru.

VR dan headphone sudah terpasang dengan benar di kepala. Kedua controller berbentuk stik beranalog juga sudah di genggaman. Beberapa saat kemudian, aku mulai terhubung. Pandanganku dipenuhi warna abu-abu. Perlahan, karakter A dengan ukuran besar mulai muncul. Aku semakin semangat!

"Welcome to Avatar. Please insert your pseudonym."

Aku belum pernah sebergairah ini saat main VR. Jantungku dugem lagi---pokoknya beda sama waktu bab 1, yang ini dugem karena semangat.

Mengetuk huruf A dengan controller, lalu ke R, menuju V, dan seterusnya, ternyata tidak cukup untuk nama lengkap, maksimal 12 huruf. Percuma, dong, aku merenungkan nama belakang selama mengheningkan cipta. Tapi yasudahlah. Yang penting, kini nama Arvellyn E T sudah terpampang besar-besar di layar.

"Please insert your date of birth."

Aku mengetikkan 29 Januari 2024.

Setelah itu muncul dua opsi yang harus kupilih. Di atas bertuliskan "Make Avatar from a selfie photo", sementara yang di bawah bertuliskan "Custom avatar". Karena aku tidak pernah mengambil selfie, jadi kupilih opsi bawah.

Sebisa mungkin kubuat bentuknya mirip dengan rupa asliku. Kupilih dasar sawo matang. Mata besar dilengkapi alis tebal, juga hidung kecil plus bibir tipis mulai melengkapi wajah oval yang kuambil. Tinggal ditambah rambut hitam bergelombang, semua komplit sudah. Kini replika tubuhku versi super kecil terpampang jelas.

"Thanks. Welcome to Avatar Land, dear Arvellyn!"

Selanjutnya terjadi begitu cepat. Aku masuk ke dua forum yang disediakan, Cari Teman dan Pelajar SMA. Tanpa sadar waktu berlalu, aku dihentikan Ibu yang mengamuk karena panggilannya tidak kubalas---ya iyalah, pakai headphone begini. 

***

Wah 1k lebih 😭👍 padahal niatin 600 aja cukup, malah kelewatan. Selain jumlah kata, jam tidur juga jadi kelewatan mulu, mantab emang.

Name ShammingWhere stories live. Discover now