Ajun Jemi Althea

1.2K 232 240
                                    

"Ambil senjatanya."

"Kosong."

"Apa??"

"Petinya kosong."

Nenek Jemi menatap Ajun tak percaya. Ia menghampiri peti miliknya dan mengecek isinya. Ajun benar. Tidak ada apapun di sana.

"Bagaimana bisa..." gumam nenek Jemi.

"Nek.." panggil Ajun. Nenek Jemi berbalik dan menatap Ajun yang lebih tinggi darinya.

"Apa.. ada kemungkin.. kalau salah satu dari mereka yang mengambilnya?" Tanya Ajun.

"Nenek tidak merasakan ada seseorang yang  datang." Jawab nenek Jemi.

"Seperti kata nenek dulu, roh dapat bebas keluar masuk media–"

"Tidak. Senjata ini tidak bisa diambil oleh roh tanpa seorang media." Ajun terdiam. Nenek Jemi kembali memandang petinya yang kosong itu. Kapan terakhir kali Ia menyentuhnya?

"Apa nggak bisa buat yang baru–"

"Butuh ratusan tahun untuk membuatnya, dan juga tidak sembarang orang bisa membuatnya dengan benar. Sampai abad ini, hanya ada 3 buah." Jelas nenek Jemi.

"3?? Yang 2 kemana?" Tanya Ajun. Nenek Jemi menggeleng. Ia tidak tahu siapa yang mewarisi 2 buah senjata pusaka yang lain.

"Seingat nenek... terakhir kali nenek masuk ke ruangan ini sekitar 10 sampai 11 tahun yang lalu.. setelah itu–"

"Nek!! Apa di waktu itu juga.. ayah pergi menemui nenek?" Sahut Ajun. Ajun teringat saat ayahnya pamit dan tak pernah kembali lagi. Nenek Jemi terdiam. Dugaan Ajun benar. Ia ingat terakhir kali ayah Ajun datang untuk berpamitan dan berterima kasih padanya. Ia juga ingat, bagaimana laki - laki itu meminta izin untuk berkeliling di semua sudut rumahnya untuk terakhir kalinya. Mengingat masa itu, nenek Jemi memijat keningnya dan menertawakan kebodohan dirinya sendiri yang sudah terlanjur percaya pada ayah Ajun.

"Laki - laki muda yang penuh trik dan pintar memanipulasi." Kata nenek Jemi.

"Life is full of lies. Trust no one."

Nenek Jemi kemudian pergi dan keluar dari ruangan itu. Ajun membuntut di belakangnya. Apa yang harus Ia lakukan sekarang? Alat atau senjata pusaka yang Ia butuhkan sudah tidak ada.

"Jadi.. ini gue nyerah aja ni–"

"Kata siapa? Nenek tidak bilang kalau sudah tidak ada jalan lagi." Balas nenek Jemi.

"Lah terus??"

"Ada satu jalan lagi. Cari lalu ambil kembali alat pusaka itu. Pasti tempatnya tidak akan jauh dari kamar saudaramu, kamar ayahmu, atau di ruangan lain di rumahmu. Tentunya kamu juga harus berhati - hati. Kalau sudah dapat, sembunyikanlah dengan baik di tempat yang akan terduga oleh siapapun. Satu hal lagi... kamu harus menghafal mantra yang nenek ucapkan tadi. Mustahil kalau nenek harus terus bersamamu." Jelas Nenek Jemi.

"Gimana caranya..." nenek Jemi tidak menjawab. Ia berjalan menuju kamarnya dan mengambil secarik kertas, pena, dan ponsel. Ia terlihat menulis sesuatu di atas kertas. Tak lama setelah itu, Ia merekam suaranya sendiri dengan ponselnya. Ajun hanya berdiri di dekat pintu dan mengamati dari sana.

"Beri nenek nomor ponselmu." Ucap nenek Jemi.

"Ha– nek.. inget umur nek..." balas Ajun, maksudnya Xiaojun.

"Kamu mau nenek bantu atau tidak? Kalau dengan tulisan saja tidak akan jelas cara pengucapannya. Kalau hanya suara, kamu tidak akan tahu apa yang nenek ucapkan." Jelas nenek Jemi.

"Ya maap, Nek..." balas Ajun yang kemudian dilanjutkan dengan mendikte nomor ponselnya pada nenek Jemi.

"Kalau ada sesuatu yang penting, kamu bisa langsung menghubungi nenek. Ingat, hanya yang penting."

FUTURAE | XiaojunWhere stories live. Discover now