Prolog

21.1K 1.8K 51
                                    

Hujan di luar masih asyik menyelimuti Kota Jakarta. Namun, cuaca yang kerap membuat orang-orang mengeluh pada jam pulang kerja itu tak membuat wanita dengan bandana warna peach membuang senyum. Ia masih sibuk menata benda persegi berwarna cokelat muda dengan pita berwarna keemasan.

Cantik. Semakin manis ketika Mei melihat deretan dua nama yang akan segera berucap janji suci bulan depan. Ia menahan senyum gembira pada bibir berlipstik pink pastel. Sesekali melirik ke arah lelaki berkemeja putih dengan dasi merah di seberang mejanya.

Namun, saat menyadari lelaki itu hanya diam dan sesekali menyesap espresso di meja membuat Mei merasa aneh.

"Kamu ... enggak suka sama desain undangan ini?" Mei mulai menuduh yang bukan-bukan.

Brian berdeham lalu memperbaiki posisi duduknya. "Bukan begitu, Mei. Aku ...."

"Terus? Enggak mau banyak tamu yang diundang? Kalau enggak setuju bilang dari awal, dong. Aku, kan ...."

"Mei, dengerin aku ngomong dulu, dong," potong lelaki berambut cepak yang sudah setahun menjalani hubungan bersama Mei.

Setahun bukan waktu yang sebentar. Mei rasa itu cukup untuk penjajagan mengingat mereka berdua sudah sama-sama dewasa. Toh semasa kuliah mereka sudah saling mengenal. Di usianya yang menginjak angka 25 tahun, Mei tak mau menunda pernikahan lagi meski Brian kerap menolak dengan alasan belum siap.

Wanita bermata lebar itu menghela napas panjang. Sejak lamaran dua bulan lalu, sikap Brian memang aneh. Percekcokan kerap terjadi. Mama bilang itu biasa. Prawedding syndrom, katanya begitu.

"Aku mau kita menyudahi semua ini, Mei."

Tubuh wanita itu tiba-tiba terasa kaku. Jantungnya seperti merosot entah ke mana. Telinganya berdenging, membuatnya tiba-tiba pusing, dan ingin pingsan saja. Apa tadi Brian bilang? Sudahi semuanya? Apa laki-laki berwajah oriental ini sudah gila?

Undangan sudah dicetak seribu eksemplar. Katering sudah dipesan seminggu yang lalu. Cincin kawin saja sudah mereka beli. Kenapa jadi begini?

"Maksudmu?" Mei mulai berusaha menapaki kenyataan. Manik hitamnya menatap lurus pada mata Brian. Riak di pelupuk mata dengan bulu mata lentik mulai bermunculan.

Brian mengusap wajah perlahan lalu menggenggam telapak tangan Mei di atas meja. "Aku minta maaf, tapi aku tak bisa melanjutkan ini semua," terangnya pelan. "Aku mau kita batalkan pernikahan. Maaf."

Mei bergeming. Ia belum mengerti seratus persen atas permintaan calon suaminya. Namun, bibir tipis itu serasa terkunci. Semua pertengkaran selama dua bulan ini berputar-putar seperti kaset rusak. Mei berusaha mencari-cari bagian mana yang membuat Brian berbuat setega ini padanya.

Sebab wanita di hadapannya hanya terdiam dan tak memberi tanggapan, lelaki itu perlahan melepas genggaman tangan. Ia bangkit seraya mendorong kursi ke belakang lalu berlalu begitu saja, meninggalkan Mei yang masih dilanda kepedihan.

"Maaf, Mbak, lama. Ini tagihannya, ya. Mbak Mei tinggal lunasi sisanya karena kemarin sudah DP lima puluh persen." Suara pegawai percetakan membuyarkan kediaman Mei.

Mei menoleh sejenak kemudian menunduk demi menyembunyikan tetes bening yang siap luruh. Kedua tangannya mengepal. Namun, beberapa detik kemudian ia meraih nota tagihan dan bangkit.

"Segera saya lunasi, tapi tolong bakar saja semua undangan itu," pungkasnya dengan suara bergetar.

Mei sakit hati setengah mati. Apa pun alasannya, ia tak suka diperlakukan sebegini keterlaluannya. Brian memang berengsek, umpat Mei seraya terus berlari kecil menerobos hujan.

***

(01-01-2021)

☘☘☘

Halo, selamat datang di proyek baru yang sedang aku ikutkan di event Madam Rose dari karospublisher. 🤗🥰

Semoga di tahun baru ini kita makin semangat dan bahagia selalu. Lancar rezeki juga. Aamiin. 😇

Jangan lupa dukung dan komen banyak-banyak ya, Kak. Biar Amiko bisa masuk 3 besar. 🤗🥰

Terima kasih banyak. 😘😘

☘☘☘

Amiko, Te Amo!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang